BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Ruang
Lingkup Pendidikan Akhlak
1.
Pengertian
Pendidikan
Sebelum
membahas mengenai pengertian pendidikan akhlak, terlebih dahulu akan dijelaskan
mengenai pengertian pendidikan.Secara bahasa,
pendidikan setara dengan kata education (Bahasa Inggris) yang diambil dari
bahasa Latin yaitu educere yang sering dimaknai memasukkan sesuatu. Oleh
karena itu, pendidikan diterjemahkan sebagai usaha memasukkan ilmu pengetahuan
dari orang yang dianggap memilikinya kepada mereka yang dianggap belum
memilikinya.[1]
Dari segi istilah,
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa kepada mereka yang
dianggap belum dewasa. Pendidikan adalah transformasi ilmu pengetahuan, budaya,
sekaligus nilai-nilai yang berkembang pada suatu generasi agar dapat
ditransformasikan kepada generasi berikutnya.[2]
Pendidikan menurut
Kamus Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.[3]
Pendidikan menurut John
Dewey, seperti yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan adalah
sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke
arah tabiat manusia.[4]
Pendidikan
pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi
fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampu memerankan diri
sesuai dengan amanah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan
pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai
gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi
fitrah manusia.[5]
Pendidikan
adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya keperibadian utama
menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterangan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[6]
Pendidikan
merupakan salah satu di antara cara lain untuk membina akhlak. Cara lainnya
seperti ibadat shalat, puasa, zakat, maupun bertafakur. Namun, cara lain
tersebut juga diperoleh dari hasil pendidikan. Jadi sangat jelas bahwa
pendidikan sangat potensial dalam merubah akhlak seseorang menjadi lebih baik.
Pendidikan
juga merupakan kegiatan universal dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun
sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung
suatu proses pendidikan.
Dalam
Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib”
mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur
pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).
Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan
hilang dari peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah
at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata
ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan
berkembang.[7]
Walaupun
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang definisi pendidikan,
namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah pendidikan,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Isra/ 24 :
ôÙÏÿ÷z$#ur
$yJßgs9
yy$uZy_
ÉeA%!$#
z`ÏB
ÏpyJôm§9$#
@è%ur
Éb>§
$yJßg÷Hxqö$#
$yJx.
ÎT$u/u
#ZÉó|¹
ÇËÍÈ
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah “ Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka
mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra’/24)[8]
Berdasarkan ayat
tersebut dapat diambil pengertian bahwa at-Tarbiyah adalah proses
pengasuhan pada fase permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak
dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali
Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka
pendidikan sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya menuju
ke tahap selanjutnya. Menurut Jalal sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir
ayat 24 surah al-Isra’ ini menunjukkan bahwa pendidikan pada fase ini menjadi
tanggung jawab keluarga, yaitu ibu dan ayah, tatkala anak masih berada dalam
periode kebergantungan.[9]
Islam memandang pendidikan sebagai
pemberi corak hitam putihnya perjalanan seseorang, dan oleh karena itu Islam
menetapkan pendidikan merupakan kegiatan yang wajib hukumnya bagi setiap muslim
laki-laki maupun muslim perempuan tanpa ada batasan untuk memperolehnya dan
berlangsung seumur hidup. Di bawah ini juga dijelaskan pengertian pendidikan
menurut para ahli, diantaranya :
a)
Ahmad
D. Marimba sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan
sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama”.[10]
b)
Al-Attas
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan (menurut Islam)
sebagai pengenalan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia,
tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud
sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang
tepat didalam tatanan wujud tersebut. Definisi ini berbau filsafat. Intinya
adalah ia menghendaki bahwa pendidikan menurut Islam adalah usaha agar orang
mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini. Definisi ini selain
panjang, abstrak sulit ditangkap dan dioperasionalkan.[11]
c)
Sebagaimana
diungkapkan oleh M. Noor Syam bahwa pendidikan adalah aktivitas
dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina
potensi–potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi
nurani) dan jasmani (panca indra serta ketrampilan).[12]
d)
Poerbakawatja
dalam ensiklopedi pendidikan juga menjelaskan pendidikan itu adalah usaha sadar
secara sengaja dari orang dewasa dengan pengaruhnya untuk meningkatkan si anak
ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab moril dari
segala perbuatan.[13]
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha secara sadar untuk mengarahkan
dan membimbing anak dalam mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya baik
jasmani maupun rohani sehingga mencapai kedewasaan yang akan menimbulkan
perilaku utama dan kepribadian yang baik.
2.
Pengertian
Akhlak
Dari
sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab. Yaitu isim mashdar dari
kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan sesuai dengan wazan tsulasi majid
af’ala, yuf’ilu, if’alan. Namun akar kata akhlak dari akhlaqa tampaknya
kurang pas, sebab isim mashdar akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq.
Maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistik kata akhlaq
merupakan isim jamid atau isim
ghair mustaq yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata itu
memang sudah sedemikian adanya.[14]
Pengertian
akhlak dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai budi pekerti atau
kelakuan.[15]
Kata akhlak walaupun diambil dari bahasa Arab (yang biasa diartikan tabiat,
perangai, kebiasaan,) namun kata seperti itu tidak diketemukan dalam Al-Qur’an,
yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang
tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4 sebagai konsideran pengangkatan
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.
وَاِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. (QS. Al-Qalam
: 4).[16]
Ayat
diatas menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan engkau (Muhammad) mempunyai
rasa malu, mulia hati, pemberani, pemaaf, penyabar, dan segala akhlak yang
mulia.
Menurut Rahmat
Djatnika, bahwa pengertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di
antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq
(خلق), yang berarti budi pekerti. Menurut
terminologi, kata budi pekerti terdiri dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi
adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong
oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat
pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour.
Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang
bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Sinonim dari budi pekerti adalah
etika dan moral. [17]
Etika berasal dari
bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika juga
diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Adapun
moral dari segi bahasa berasal dari bahsa latin, mores yaitu jamak dari
mos yang berarti adat kebiasaan. Secara istilah moral adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.[18]
Menurut Zain Yusuf
akhlak adalah haiat atau bentuk dari suatu jiwa yang benar-benar meresap dan
dari situlah timbul berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah
tanpa dibuat-buat dan tanpa membutuhkan pemikiran dan angan-angan.[19]
Ahmad Amin juga
mendefinisikan akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Kehendak adalah
ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah mengalami bimbingan, dan
kehendak itu apabila terbiasa maka akan menjadi adat, dan adat itulah yang
dinamakan akhlak. Sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang
sehingga mudah melakukannya, dan masing-masing dari keduanya mempunyai kekuatan
dan gabungan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar, kemudian kekuatan besar
inilah yang dinamakan akhlak.[20]
Sedangkan
menurut pendapat Ibnu Maskawaih, Akhlak adalah keadaan jiwa yang dari padanya
keluar perbuatan-perbuatan tanpa pikiran dan pertimbangannya.[21] Akhlak
itu timbul dan tumbuh dari dalam jiwa kemudian berbuah ke segenap anggota menggerakkan
amal-amal serta menghasilkan sifat-sifat yang baik dan utama dan menjauhi
segala yang buruk dan tercela. Pemupukan agar dia bersemi dan subur ialah berupa humanity dan imani, yaitu kemanusiaan dan keimanan yang kedua-duanya ini bersama menuju perbuatan.[22]
3.
Pengertian
Pendidikan Akhlak
Setelah
dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian
akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan
mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki
dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang
mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan
berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah SWT dan terdidik
untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri
kepada-Nya. Maka ia akan memiliki potensi dan respons yang instingtif didalam
menerima setiap keutamaan dan kemuliaan.[23]
Akhlak juga diartikan
sebagain suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk
memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai
Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang
nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah
laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang
berakhlak mulia, di mana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan
mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan
pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau
bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan pebuatan itu harus konstan
(stabil) dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga dapat
menjadi kebiasaan.
Dalam rangka
menyelamatkan dan memperkokoh akidah islamiyah seorang anak, maka peserta didik
harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang memadai. Program kegiatan
belajar yang disiapkan harus dapat menanamkan dan menumbuhkan sejak dini
pentingnya pembinaan perilakudan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan
yang baik. Hal itu akan menjadi dasar dalam pembentukan pribadi anak yang
sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat dan agama, membantu
anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang, mandiri, dan melatih anak hidup
bersih dan sehat serta dapat menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan
sehari-hari.[24]
Rasulullah SAW sangat
memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan akhlak. Dalam sebuah hadis
disebutkan “tidaklah seorang ayah (juga ibu) memberi seorang anak laki-laki
(juga anak perempuan) pemberian yang lebih utama dari pada adab yang baik”.
Jadi warisan akhlak bagi anak lebih baik dari pada warisan harta.[25]Yang
didapatkkan seseorang dari akhlak yang baik adalah akal yang cerdas, lalu
kebiasaan yang baik, lalu amal yang saleh, lalu ridha Allah, lalu kebahagiaan
yang abadi. Sedangkan yang didapatkan dari akhlak yang buruk adalah rusaknya
akal, lalu kebiasaan yang buruk, lalu murka Allah, lalu kehinaaan yang abadi.[26]
Islam dan agama-agama
lain, amat mementingkan pendidikan akhlak. Disinilah sebenarnya letak intisari
suatu agama. Intisari ajaran-ajaran Islam, memang berkisar antara baik dan buruk,
yaitu perbuatan mana yang bersifat baik dan membawa kepada kebahagiaan, dan
perbuatan mana yang bersifat buruk dan membawa kepada kemudharatan atau kesengsaraaan.
Untuk kebahagiaan manusia, perbuatan baik dikerjakan dan perbuatan buruk
dijauhi. Tujuan dasar dari semua ajaran-ajaran islam memang untuk mencegah
manusia dari perbuatan buruk dan mendorong manusia kepada perbuatan baik. Dari
manusia-manusia yang baik dan berbudi pekerti luhurlah maka masyarakat yang
baik dapat diwujudkan.[27]
4.
Dasar-dasar Pendidikan
Akhlak
Dasar pendidikan akhlak
adalah al-Qur’an dan al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang
bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat
Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai
dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi
seluruh umat manusia. Maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW
sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam
Q.S. al-Ahzab /21 :
لَقَدْكَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللهَ وَالْيَوْمَ الْاَخِرَ وَذَكَرَاللهَ
كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab /21)[28]
Berdasarkan ayat di
atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri
Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan luhur.
Di dalam hadits juga
disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam kehidupan manusia. Bahkan
diutusnya rasul adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW :
أِنَّمَابُعِثْتُ
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“Sesungguhnya Aku
(muhammad) hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.[29]
Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang
pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan
akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan
orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang
bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi,
mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia,
mengetahui perbedaan buruk dan baik, menghindari suatu perbuatan yang tercela
dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Firman Allah
dalam Al-Quran surat at-Tahrim ayat :6
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
….
ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu...”(QS. At-Tahrim:6)[30]
Ayat diatas menjelaskan
orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah sebagian dari kamu
memberitahukan kepada sebagia yang lain, apa yang dapat menjaga dirimu dari api
neraka dan menjauhkan kamu dari padanya, yaitu ketaatan kepada Allah dan
menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu
perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka. Dan
bawalah mereka kepada yang demikian ini melalui nasehat dan pengajan
Ada beberapa dasar
dalam pendidikan akhlak yang perlu ditetapkan, diantaranya adalah:
a) Menanamkan kepercayaan pada jiwa anak.
b) Menanamkan rasa cinta dan kasih terhadap sesama.
c) Menyadarkan anak bahwa nilai-nilai akhlak muncul dari dalam diri manusia,
bukan berasal dari peraturan.
d) Menanamkan “perasaan peka” dengan membangkitkan sisi kemanusiaan.
e) Membudayaan akhlak yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan watak pada diri
anak.[31]
5.
Tujuan
Pendidikan Akhlak
Tujuan
utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti, bukan sekedar
memenuhi otak murid-murid dengan ilmu pengetahuan tetapi tujuannya ialah
mendidik akhlak dengan memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik dan
mental, perasaan dan praktek serta mempersiapkan anak-anak menjadi anggota
masyarakat.[32]
Tujuan
tertinggi pendidikan akhlak menurut Ahmadi yaitu menjadikan hamba Allah SWT
paling bertakwa, karena manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah
SWT, mengantarkan peserta didik menjadi khalifatullah fi ard ( wakil
Tuhan di bumi ) yang mampu membudayakan alam sekitar dan mewujudkan rahmatan
lil alamin, sebagai konsekuensi telah menerima Islam sebagai falsafah hidup
serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[33]
Adapun
tujuan pendidikan akhlak secara umum yang dikemukakan oleh para pakar
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1) Tujuan pendidikan akhlak menurut Omar Muhammad Al Thoumy Al-
Syaibani “Tujuan tertinggi agama dan akhlak ialah menciptakan kebahagiaan dua
kampung (dunia dan akhirat), kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan
kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat”.[34]
Pada dasarnya apa yang akan dicapai dalam pendidikan akhlak tidak berbeda
dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
2) Menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika) bukan
hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah
mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan
menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama
manusia. Maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan
tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.[35]
3) Tujuan pendidikan akhlak menurut M. Athiyah Al Abrasyi “Tujuan
pendidikan budi pekerti adalah membentuk manusia yang berakhlak (baik laki-laki
maupun wanita) agar mempunyai kehendak yang kuat, perbuatan-perbuatan yang
baik, meresapkan fadhilah (kedalam jiwanya) dengan meresapkan cinta kepada
fadhilah (kedalam jiwanya) dengan perasaan cinta kepada fadhilah dan menjauhi
kekejian (dengan keyakinan bahwa perbuatan itu benar-benar keji).[36]
4) Tujuan pendidikan akhlak menurut Mahmud Yunus “Tujuan pendidikan
akhlak adalah membentuk putra-putri yang berakhlak mulia, berbudi luhur,
bercita-cita tinggi, berkemauan keras, beradab, sopan santun, baik tingkah
lakunya, manis tutur bahasanya, jujur dalam segala perbuatannya, suci murni
hatinya”.[37]
5) Menurut Abdurrahman An-Nahlawi berpendapat sebagaimana yang di
kutip oleh Marasudin Siregar dalam buku Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam
bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah
SWT dalam kehidupan manusia baik secara individual maupun secara sosial serta
mengaktualisasikan diri. Aktualisasi inilah dalam Islam disebut ihsan sebagai
buah dari iman dan Islam, yang di dalamnya terdapat keluhuran akhlak.
6) Sedangkan menurut Barmawie Umary menjelaskan tentang tujuan
pendidikan akhlak sebagai berikut :
a.
Untuk
memperoleh irsyad yaitu dapat membedakan antara amal yang baik dan buruk
b.
Untuk
mendapatkan taufik sehingga perbuatannya sesuai dengan tuntunan
Rasulullah SAW dan akal sehat
c.
Untuk
mendapatkan hidayah, artinya gemar melakukan perbuatan baik dan terpuji
dan menghindari perbuatan buruk[38]
Pendapat
Barmawie Umary itu merupakan tujuan yang prosesty, tetapi sebenarnya
yang dikehendaki adalah figur setelah terperolehnya tiga unsur tersebut ( Irsyad,
Taufik, Hidayah ) yaitu insan yang diridhai oleh Allah SWT dan orang yang
diridhai adalah insan kamil ( manusia yang sempurna ).
Selanjutnya
insan kamil adalah tujuan pendidikan akhlak, juga merupakan tujuan pendidikan
Islam, namun yang bersifat personal. Jangkauan yang lebih luas adalah akses
atau efek dari perbuatan-perbuatan insan kamil tersebut yang berupa perilaku
terpuji dan baik dalam perspektif Islam. Efek itu meliputi kebahagiaan,
kedamaian dan kesejahteraan di kehidupan dunia ini. Di samping itu, dimensi
ukhrawi yang baik, seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT serta
keridhaan-Nya.
Hamzah
Ya’kub menjelaskan tujuan dari setiap aktifitas pendidikan secara implisit
adalah jika seorang muslim mencari rizki bukanlah untuk sekedar mengisi perut
bagi diri dan keluarganya. Pada hakekatnya dia mempunyai tujuan yang lebih atau
tujuan filosofis. Dia mencari rizki untuk mendapatkan makanan guna membina
kesehatan rohani dan jasmani, sedangkan tujuan membina kesehatan itu adalah
supaya kuat beribadah dan beramal ibadah, itulah dia dapat mencapai tujuan
akhir, yakin ridha Allah SWT. Jika dia belajar, bukan sekedar untuk memiliki
ilmu, ilmu itu akan menjadi jembatan emas dalam membina taqwa dan taqorrub
kepada Allah SWT, supaya menjadi insan yang meliputi ridha Allah SWT.
Seperti
disebutkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an, yang berbunyi :
يَاأَيَّتُهَاالنَّفْسُ
الْمُطْمَئِنَّةُ . اِرْجِعِيْ اِلَىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً .
فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ . وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ . (الفجر:27-30)
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang
puas lagi di ridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku, masuklah
dalam surgaku.”(QS.al-Fajr:27-30)[39]
Tujuan
diatas selaras dengan tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/Th. 2003, Bab II, Pasal 3
dinyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[40]
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tersebut mengisyaratkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan
adalah sebagai usaha mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu pendidikan
dan martabat manusia baik secara jasmaniah maupun rohaniah.
6.
Problematika
Pendidikan Akhlak
Para pendidik sependapat bahwa
pendidikan akhlak merupakan aspek pendidikan yang paling sulit dalam bidang
pendidikan secara umum. Hal itu dikarenakan pendidikan akhlak tertumpu pada
pendidikan jiwa, sedangkan mendidik jiwa lebih sulit dari pada mendidik raga atau
tubuh.[41]
Para pendidik tidak hanya dibebani tugas
mencerdaskan anak didik dari segi kognitif saja, akan tetapi kecerdasan dari
segi afektif dan psikomotorik tugas harus diperhatikan. Dalam hal ini beban
pendidikan yang berkaitan dengan kecerdasan afektif siswa adalah upaya membina
moral (akhlak) peserta didik. Moral yang diharapkan adalah moral yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang disandarkan pada keyakinan
beragama. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut dewasa ini tampaknya banyak
kendala yang harus dihadapi.
Munculnya isu kemerosotan martabat
manusia (dehumanisasi) yang muncul akhir-akhir ini. Dapat diduga akibat
krisis moral. Krisis moral terjadi antara lain akibat ketidak berimbangnya
antatra kemajuan IPTEK dan IMTAQ.
Di lingkungan sekolah pendidikan
pada kenyataannya dipraktekkan sebagai pengajaran yang sifatnya verbalistik.
Pendidikan yang terjadi di sekolah formal adalah dikte, diktat, hafalan, tanya
jawab, dan sejenisnya yang ujung-ujungnya hafalan anak di tagih melalui
evaluasi tes tertulis. Kalau kenyataannya seperti itu berarti anak didik baru
mampu menjadi penerima informasi belum menunjukkan bukti telah menghayati
nilai-nilai Islam yang diajarkan. Pendidikan akhlak seharusnya bukan sekedar
untuk menghafal, namun merupakan upaya atau proses, dalam mendidik murid untuk
memahami, mengetahui sekaligus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam
dengan cara membiasakan anak mempraktekkan ajaran Islam dalam kesehariannya.
Ajaran Islam sejatinya untuk diamalkan bukan sekedar di hafal, bahkan lebih
dari itu mestinya sampai pada kepekaan akan amaliah Islam itu sendiri sehingga
mereka mampu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.[42]
Melihat fenomena tersebut masih
banyak problem yang harus di selesaikan meliputi metode dan pendekatan untuk
menyampaikan esensi dan klasifikasi ajaran Islam yang harus di utamakan. Ajaran
Islam harus mencerminkan perilaku keseharian dan kepribadian sekaligus
spiritualisme dalam hubungan antara manusia dan khalik-Nya.
[1]Sama’un Bakry,
M.Ag. Menggagas Konsep Ilmu Penddikan Islam, Bandung: Pustaka Bani
Qurasy, 2005, h. 2
[3]Qonita Alya, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Untuk Pendidikan Dasar,Bandung : PT Indah Jaya
Adipratama, 2002, h. 157
[4]M. Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2000, h. 1
[5]Jalaluddin, Teologi
Pendidikan,Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h. 51.
[7]Zuhairini,
dkk., Metodologi Pendidikan Agama, Bandung : Ramadhani, 1993, h. 9.
[8]Departemen Agama Republiik
Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo,
1994, h. 428.
[9]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2001, h. 31
[11]Ibid.,
h.29.
[12] A. Syaefuddin, Percikan Pemikiran Al Ghozali, Bandung,
Pustaka Setia, h.13
[13]R. Soegarda
Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta :
Gunung Agung, 1982, h.257
[14]Abudin Nata, Akhlak
Tasawuf, cet. 9, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, h. 1-2
[15]Qonita Alya, Op.
Cit, h.12
[16]Depag RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 1996, h. 451
[17]Rahmat
Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Balai Pustaka,
1994, h. 26
[18]Abuddin Nata, op.cit,
h. 89 dan 92
[19]Muhammad Zain
Yusuf, Akhlak Tasawuf, Semarang : Fak. Dakwah IAIN Walisongo, 1986, h.6
[20]Ahmad Amin, Etika
( Ilmu Akhlak ), Jakarta : Bulan Bintang, 1975, h.62
[21]IdrisYahya, TelaahAkhlaqdariSudutTeoritis,
FakultasUshuludin IAIN Walisongo, Semarang, 1983, h. 6.
[23]Raharjo, dkk., Pemikiran
Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999, h.63
[24]Dr. Mansur,
M.A., Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2009, h. 117-118
[25]Khalid bin
Abdurrahman, Cara Islam Mendidik Anak, terj. Muhammad Halabi Hamdi dan
Muhammad Fadhil Afif, Jogjakarta: AD-DAWA’, 2006, h. 170
[26]Ibid.,
h. 171
[27]Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 2008, h. 46- 49
[28]Departemen
Agama Republik Indonesia, op.cit., h. 670.
[29]Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad
Juz II, Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th., h. 504.
[31]Khalid bin
Abdurrahman, op.cit., h. 243-245
[32]M. Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan
Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, L.I.S., Jakarta: Bulan
Bintang, 1970, h. Cet. I, h. 15 dan 109
[33]Ahmadi, Manusia
Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, h.16
[34]Omar Muhammad al-Toumy Al-Syaibany, Filsafat
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979,
Cet. I, h. 346
[35]Ahmad Amin, Etika
(Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf,
Jakarta : Bulan Bintang, 1975, h. 6-7.
[36]M. Athiyah Al Abrasy, Op. Cit, h.108
[37]Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran,
Jakarta: Hida Karya Agung, 1978, Cet. II, h. 22
[38]Barmawie Umary,
Materi Akhlak, Solo : Ramadhani, 1995, cet.12, h.3
[39]Departemen
Agama Republik Indonesia, op.cit., h.786
[40]Undang-undang RI, Sistem Pendidikan Nasional,
Semarang: Aneka Ilmu, 2003, Cet. VII, h. 7
[41]Khalid bin
Abdurrahman, op.cit., h. 241
[42]A.QodriA.Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun
Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, Cet. II, h. 64-65