A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang
sangat penting bagi setiap anak, dipengaruhi dan berpengaruh terhadap
lingkungan. Lingkungan yang paling utama adalah keluarga, bagaimana orang tua
terutama ibu membimbing anaknya agar siap untuk menghadapi kehidupan di zaman sekarang
dan zaman yang akan datang. Disinilah kecakapan hidup seorang anak harus di
bimbing dan di arahkan agar tidak menyimpang dalam norma-norma agama yang
sesuai dengan Al-Qur’an, agar mampu menghasilkan generasi-generasi muda yang
beriman,kreatif, inovatif dan bertanggung jawab.
Pendidikan berkelanjutan dan pengembangan karakter menjadi tugas
bagi keluarga, masyarakat,dan pemerintah. Mempesiapkan generasi muslim yang
tangguh merupakan harapan Al-Qur’an. Setiap muslim, baik sebagai individu
maupun sebagai komunitas, harus berupaya mewujudkan generasi yang berkualitas
dalam semua aspek kehidupan manusia.
2.
Rumusan Masalah
masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas, makalah ini
dapat kita rumuskan rumusan sebagai berikut:
a.
Bagaimana
filsafat pendidikan dalam Al Qur’an ?
b.
Apa
tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an ?
c.
Bagaimana
pendidikan sebagai proses humanisasi ?
d.
Bagaiman
sifat-sifat pendidikan yang baik ?
e.
Bagaimana
sifat-sifat peserta didik yang baik ?
3.
Tujuan Penulisan
Dari paparan
rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini tujuanna adalah:
a.
Untuk
menjelaskan filsafat pendidikan dalam Al Qur’an
b.
Untuk
mengetahui tujuan pendidikan dalam Al Qur’an
c.
Untuk
menjelaskan pendidikan sebagai proses humanisasi
d.
Untuk
menjelaskan sifat-sifat pendidikan yang baik
e.
Untuk
menjelaskan sifat-sifat peserta didik yang baik
B.
AYAT-AYAT AL- QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN
1.
Filsafat Pendidikan Dalam Al Qur’an
Mungkin bagi
para pembaca ada yang merasa bahwa al-Qur’an bagi kaum muslimin
adalah kitab filsafat pendidikan yang paling besar. Sebagian besar dari
kaum muslimin telah membaca al-Qur’an tetapi tidak memahami arti dan menghayati
kandungannya. Padahal pada dasarnya al-qur’an adalah sebuah kitab yang
mengandung khazanah kebudayaan dan pendidikan manusia yang maha besar,
teristimewa Pendidikan Rohani.
Apabila ilmu
filsafat membahas permulaan dan akhir dari segala sesuatu, dalam hubungan
sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan antara manusia
dengan penciptanya, maka filsafat Al-Qur’an telah mencakup itu semua. Universal
Al-Qur’an meliputi segala yang ada : langit dan bumi, yang hidup dan yang mati,
yang nampak dan yang tersembunyi, yang awal dan yang akhkir, yang dahulu
dan yang sekarang. Panduan Al-Qur’an adalah yang paling tepat dan yang paling
harmonis. Al-Qur’an mengaitkan jiwa dan raga, iman dan akal, agama dan dunia,
pemikiran dan perbuatan, kenikmatan dan perjuangan, manusia dan alam, serta
manusia dengan penciptanya.
Ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang
pendidikan adalah:
a.
QS. An
Nisa ayat 9
Artinya: Dan
hendaklah takut (kepada
Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan
yang lemah di belakang mereka, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur
kata yang benar
Dan hendaklah takut فَلْسَخْشَ
Bila mereka meninggalkan لَوْتَرَكُوْ
Anak-anaknya (yang dibelakangnya) خَلْفِهِمْ
Dalam keadaan ذُرِّيَّةً
Lemah
ضِعْفًا
Mereka khawatirkan (takutkan) خَافُوْا
Hendaklah mereka bertakwa فَلْيَتَّقُوْ
Dan mengucapkan وَلْيَقُوْلُوْا
Perkataan قَوْلاَ
Yang benar
سَدِيْدًا
Pembicaraan
dalam ayat ini masih berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati,
yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim. Juga, tentang perintah tehadap
mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara berbicara
kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus,
baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku, dan
sebagainya.
Dalam ayat
ini yang diingatkan adalah kepada mereka yang berada di sekeliling para pemilik
harta yang sedang menderita sakit. Mereka seringkali memberi aneka nasehat
kepada pemilik harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewasiatkan kepada
orang-orang tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya, sehingga
akhirnya anak-anaknya sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9 diatas
berpesan: Dan hendaklah orang-orang yang memberi aneka nasehat kepada
pemilik harta agar membagikan hartanya kepada orang lain sehingga anak-anaknya
sendiri terbengkalai, hendaklah mereka membanyangkan seandainya mereka
akan meninggalkan di belakang mereka, yakni setelah kematian mereka,
anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta, yang mereka
khawatir terhadap kesejahteraan mereka atau penganiayaan atas mereka, yakni
anak-anak yang lemah itu. Jika keadaan serupa mereka alami, apakah mereka akan
menerima nasehat-nasehat seperti yang mereka berikan itu? Tentu saja tidak!
Kerena itu, hendaklah mereka takut kepada Allah SWT., atau keadaan anak-anak
mereka di masa depan. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
SWT. Dengan mengindahkan sekuat kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.
Kandungan
Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan
generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan
potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.[1]
Jadi,
Allah SWT. memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir
hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau
keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian
hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung
jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.[2]
b.
QS.
Al-Luqman 13
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya untuk
menasehatinya: “Wahai anakku janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah,
karena sesungguhnya syirik itu adalah perbuatan dosa yang sangat besar”
Ada
beberapa kitab tafsir yang memberi penafsiran al-Qur’an surat Luqman ayat 13.
Diantaranya ialah tafsir fi zhilalil Qur’an Sayid Quthb menafsirkan bahwa
pengarahan Luqman terhadap anaknya dengan nasihat tersebut mengandung hikmah
kebijaksanaan. Nasihat tersebut tidak mengandung tuduhan, akan tetapi
mengandung persoalan ketauhidan.[3]
Kebijaksanaan
orang tua (ayah) terhadap anaknya menjadi sebuah keteladanan ketika seorang
anak telah dewasa. Persoalan ketauhidan adalah hal yang sangat penting dalam
kehidupan seorang anak sebelum ia mengetahui hal perkara lainnya. Sebagai orang
tua wajib menanamkan nilai ketauhidan (keesaan) Allah dengan benar kepada
anaknya.
Dalam
Tafsir an-Nuur Hasby Ash-Shiddieqy menafsirkan bahwa kedudukan (fungsi) ayah adalah memberi pelajaran kepada anak-anaknya dan menunjukan
mereka kepada kebenaran dan menjauhkan mereka dari kebinasaan. Sebab seorang
ayah bertanggung jawab dalam kehidupan anaknya.[4]
Metode
Luqmanul Hakim dengan anaknya ini dinisbatkan oleh ulama ilmu jiwa modern
dengan “metode pendidikan dengan nasehat”. Metode ini harus diiringi dengan
metode “pendidikan dengan teladan”. Keteladanan yang baik merupakan
satu-satunya sarana untuk mewujudkan tujuan nasehat yang dimaksud. Jika
seandainya Luqman tidak mempunyai teladan yang baik, maka nasehat tidak akan
membekas kepada anaknya dalam jangka waktu yang lama.[5]
Hendaknya
orang tua menjadi teladan (uswah) dalam kehidupan anaknya. Hidupkan nilai-nilai
agama pada diri, keluarga dan lingkungan tempat si anak dibesarkan. Jangan
hanya menyuruh anak untuk shalat, sedangkan orangtuanya asik dengan pekerjaan.
Bahkan tak jarang orang tua secara tidak sengaja telah mengajarkan kebohongan
kepada anaknya.
Pada ayat
diatas, Luqman memberi pelajaran awal secara khusus kepada anaknya mengenai
ketauhidan. Ketauhidan memiliki nilai lebih dan merupakan basic (dasar) dalam
segala keilmuan. Semestinya pula pada pendidikan modern sekarang. Konsep tauhid
mendapat perhatian besar oleh pelaku pendidikan. Nilai-nilai ketauhidan harus
diajarkan sejak kecil dengan berbagai cara dan disesuaikan dengan tingkatan
usia seorang anak. Jika hal ini dilaksanakan secara sistematis dan kontinyu,
maka akan menjadi bekal paling berharga bagi seorang anak dalam kehidupan
dunianya.
Panggilan
Luqman kepada anaknya, “hai anakku”, mencirikan ungkapan yang indah dan
tulus dari seorang ayah kepada si buah hatinya. Sebagaimana pula telah
dianjurkan dalam syariat agama Islam yang menjadikan kewajiban bagi orang tua
untuk memberi nama (panggilan) yang indah kepada anaknya. Karena nama juga
sebagai do’a dan akan terus melekat pada diri seorang manusia.
Luqman menasehati anaknya agar tidak
mempersekutukan Allah, karena hal tersebut merupakan kezaliman (dosa) yang
besar. Mempersekutukan Allah disini memiliki artian yang sangat sensitif.
Terkadang tanpa disadari, kemusyrikan telah ada ditengah-tengah kita. Konon
lagi pada era
teknologi yang semakin canggih. Esensi dari kemusyrikan kian gencar merongrong
umat Islam.
2.
Tujuan Pendidikan Dalam Al-Qur’an
Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah
tujuan mendidik dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama
keberadaan mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh
potensi kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban, kelak harus
dipertanggung-jawabkan. tujuan pendidikan dalam al Qur’an dikemukakan Asy
syaibani yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah, “adanya perubahan yang
positif yang ingin dicapai melalui sebuah proses atau upaya-upaya pendidikan,
baik perubahan itu terjadi pada aspek tingkah laku, kehidupan pribadi dan
masyarakat, dan lingkungan luas dimana pribadi itu hidup.”[6]
Tujuan dari pendidikan menurut alqur’an yaitu:
a.
mendidik jiwa tauhid agar tumbuh rasa kehambaan
yang tinggai terhadap allah. Ini dibuat dengan membawa manusia berfikir tentang
kebesaran allah, kuasa allah, kehebatan allah, kebaikan dan rahmat allah serta
nikmatnya.
b.
mendidik hati agar rasa rindu dengan syurga allah,
rahmat dan kemampuan allah, bantuan allah dll. Semua itu di lakukan dengan
menyebutkan khabar-khabar gembira tentang perkara-perkara tersebut.
c.
mendidik iman dan taqwa dihati
d.
mendidik manusia agar melakukan amal saleh dan
berakhlak mulia. Untuk itu al-Qur’an banyak menceritakan sejarah hidup para
nabi, rasul dan orang-orang saleh yang patut dijadikan panduan hidup manusia.
e.
mendidik manusia agar menghindari sift-sifat
jahat dan agar selamat dari api neraka.
f.
mendidik manusia agar memiliki sikap hidup yang
khusus sebagai seorang islam, agar selamat dunia dan akhirat.[7]
C. PENDIDIKAN
SEBAGAI PROSES HUMANISASI
Dehumanisasi dan Humanisasi:
Humansasi
dan dehumanisasi merupakan istilah yang bermakna sebagai lawan kata. Humanisasi
artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya
sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses
menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia. Untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian humanisasi dan
dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana.
Ketika ada praktik pendidikan yang memberlakukan anak manusia
sebagai burung beo, dimasukkan ke dalam kandang atau tempat yang berjeruji,
dengan proses pelatihan agar anak manusia itu dapat menirukan atau dapat
melaksanakan sesuai dengan instruksi tertentu, maka praktik pendidikan ini
dapat dikategorikan sebagai proses dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya
dengan praktik pendidikan yang memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang
dapat diperintah seenaknya seperti robot, maka praktik pendidikan seperti itu
sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh proses dehumanisasi pendidikan.
Jika proses pendidikan dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan indovidual anak,
baik perbedaan dari aspek fisik maupun mentalnya, maka proses pendidikan
seperti itu dapat dikategorikan sebagai dehumanisasi pendidikan.
Sedangkan pendidikan yang
humanis adalah pendidikan yang berfokus pada peserta-didik, yaitu yang
menghargai keragaman karakteristik mereka,
berusaha mengembangkan potensi masing-masing dari mereka secara optimal,
mengembangkan kecakapan hidup untuk dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi
dan lingkungan, memberikan bantuan untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk
belajar, serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.
Pendidikan diyakini sebagai kunci pembangunan dan
pengembangan sumber daya manusia. Namun, pendidikan kita mengalami proses
“dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses
kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya.
Sebagai contoh Tawuran antar pelajar terutama dikota kota besar, aborsi,
penyalahgunaan pornografi, pelanggaran etika dan norma-norma sosial lainnya
yang kini mewabah di kalangan terpelajar menunjukkan bahwa selama ini telah
terjadi dehumanisasi pendidikan pada hampir setiap jenjang pendidikan.
Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami
“kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus yang lalu telah muncul ke
permukaan. Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan
kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum
mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang
punya jiwa sosial dan kemanusiaan.
Kritik dan keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas
proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini sama sekali
tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas
dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek.
Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa,
orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi. Setiap
hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak.
Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka
bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Anak-anak dipasung kebebasannya,
tidak lagi dilihat sebagai anak (lebih-lebih di pendidikan dasar), tetapi
sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang hanya tahu melaksanakan
perintah ”tuan”nya.[8]
D. SIFAT PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK YANG BAIK
Proses pendidikan dalam kehidupan
manusia tidak terlepas dari peran pendidik dan peserta didik itu sendiri.
Berhasil atau gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh kedua komponen
tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan
pendidik dalam menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik
dan tentu saja pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil
yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin.
1.
Sifat Pendidik
Menurut Al Ghazali memaparkan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, yaitu:
a.
Kasih
sayang, seperti kepada anak sendiri;
b.
Tidak
mengharapkan materi, tetapi mengharap ridha Allah dan taqarrub kepada-Nya;
c.
Tidak
berhenti menasihati murid, sekalipun hak yang kecil;
d.
Kontrol
sosial bagi murid dengan cara lemah lembut;
e.
Tidak
merendahkan ilmu dan orangnya;
f.
Memberikan
materi sesuai dengan kemampuan akal peserta didik;
g.
Memotivasi
peserta didik yang berkemampuan rendah; dan
h.
Berindak
sesuai dengan ilmunya.[9]
Sedangkan menurut Sedangkan
menurut al-Abrasyi pendidik harus memiliki sifat-sifat:
a.
Abawiyah (kebapakan);
b.
Komunikatif;
c.
Memberi materi sesuai dengan kemampuan akal
peserta didik;
d.
Mempunyai rasa tanggung jawab terhadap
nasyarakat;
e.
Suri teladan dalam keadilan, kesetiaan dan
kesempurnaan;
f.
Ikhlas;
g.
berwawasan luas;
h.
Selalu mengkaji ilmu;
i.
Mengajar dan mengelola kelas dengan baik;
j.
Memperbanyak ilmu dengan ruh ilmu-ilmu baru;
k.
Komitmen tinggi;
l.
Sehat; dan
m.
berkepribadian kuat[10]
Dalam
upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan
menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara
sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras
atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak
mudah putus asa dan sebagainya.
2.
Sifat Peserta didik
sifat-sifat
terpuji yang harus dimiliki oleh peserta didik menurut Imam al-Ghazali, seperti
yang dikutip oleh Samsul Nizar meliputi sepuluh hal.
a. Belajar dengan niat ibadah dalam
rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan
senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan
sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela
sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan
adz-Dzariyat/51:56).
b. Mengurangi kecenderungan pada
kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah
menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral
untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
c. Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
d. Menjaga pikiran dari berbagai
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta
didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah
dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling
menuding dan menganggap diri paling benar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji,
baik ilmu umum maupun agama.
f. Belajar secara bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang
sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu
kifayah (Q.S.a;l-Fath/48:19).
g. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk
kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan
memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas
ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.
Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan,
yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta
memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia
pada umumnya.[11]
Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.
Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.
E.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
makalah diatas maka dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Kandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9, berpesan agar
umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu
mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatangKandungan
Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan
generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan
potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.
2.
Beberapa kitab tafsir
yang memberi penafsiran al-Qur’an surat Luqman ayat 13. Diantaranya ialah
tafsir fi zhilalil Qur’an Sayid Quthb menafsirkan bahwa pengarahan Luqman
terhadap anaknya dengan nasihat tersebut mengandung hikmah kebijaksanaan.
Nasihat tersebut tidak mengandung tuduhan, akan tetapi mengandung persoalan
ketauhidan. Pada ayat
ini, Luqman memberi pelajaran awal secara khusus kepada anaknya mengenai
ketauhidan. Ketauhidan memiliki nilai lebih dan merupakan basic (dasar) dalam
segala keilmuan. Semestinya pula pada pendidikan modern sekarang. Konsep tauhid
mendapat perhatian besar oleh pelaku pendidikan. Nilai-nilai ketauhidan harus
diajarkan sejak kecil dengan berbagai cara dan disesuaikan dengan tingkatan
usia seorang anak. Jika hal ini dilaksanakan secara sistematis dan kontinyu,
maka akan menjadi bekal paling berharga bagi seorang anak dalam kehidupan
dunianya.
3. Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah tujuan mendidik
dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama keberadaan
mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh potensi
kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban, kelak harus
dipertanggung-jawabkan.
4. Humanisasi artinya proses menjadikan
manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang
dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak
sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia.
5. Pendidik menurut Az-Zarnuzi ialah orang yang berilmu atau alim yang
jamaknya adalah ulama’. Dengan demikian pendidik itu identik dengan ulama’.
Ahli-ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi pekerti yang harus
dimiliki oleh pendidik atau guru, pendidik haruslah menjadi pembina akhlak,
maka semestinya pendidik lebih dahulu berakhlak mulia.
6.
Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik
hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik
dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki
peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki
motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi,Ruh
al-Tarbiyať, hlm.207-225, dan Al-Abrasyi,Al-Tarbiyať al-Islamiyať,
Al-Ghazali, Ihya
‘Ulum
Ash-Shidieqy, Muhammad
Hasbi, Tafsir An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000
at Tuumiy asy
Syaibani, Umar Muhammad, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah,
Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan,
Bustami A. Gani,dkk,Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid
II,(Jakarta: Departemen Agama RI,1991).
http://aauniethea.blogspot.com/2011/11/tujuan-pendidikan-menurut-al-quran.html
http://anan-nur.blogspot.com/2011/06/kembalikan-pendidikan-sebagai-proses.html
http://prolink2all.blogspot.com/2011/07/peserta-didik-dalam-pendidikan-islam.html
Manshur, Syaikh
Hasan, Metode Islam Dalam Mendidik Remaja, terj. Abu Fahmi Huaidi,
Jakarta: Mustaqiim, 2002
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al – Misbah Pesan,
Kesan dan Keserasian Al – Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Quthb, Sayid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 9, terj. As’ad Yasin, dkk, Jakarta:Gema Insani Press,
2004
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al – Misbah Pesan, Kesan
dan Keserasian Al – Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm. 355
[2] Bustami A.
Gani,dkk,Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II,(Jakarta: Departemen Agama
RI,1991)hlm.125
[3] Sayid
Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 9,
terj. As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hal. 164
[4] Muhammad Hasbi
Ash-Shidieqy, Tafsir An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, hal.
3207
[5] Syaikh Hasan
Manshur, Metode Islam Dalam Mendidik Remaja, terj. Abu Fahmi Huaidi,
Jakarta: Mustaqiim, 2002, hal. 158
[6] Umar Muhammad
at Tuumiy asy Syaibani, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah,
Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan, h 282.
[7]
http://aauniethea.blogspot.com/2011/11/tujuan-pendidikan-menurut-al-quran.html
[8]
http://anan-nur.blogspot.com/2011/06/kembalikan-pendidikan-sebagai-proses.html
[9]
Al-Ghazali,
Ihya ‘Ulum, hlm. 55-59
[11]
http://prolink2all.blogspot.com/2011/07/peserta-didik-dalam-pendidikan-islam.html