BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN
ABDULLAH NASHIH ULWAN DALAM KITAB TARBIYATUL AULAD FIL ISLAM TENTANG
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
A.
Analisis Pemikiran
Abdullah Nashih Ulwan Dalam Kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam Tentang
Konsep Pendidikan Akhlak.
Pendidikan akhlak menurut Abdullah Nashih Ulwan adalah keutamaan
sikap dan watak yang wajib dimiliki oleh seorang anak dan yang dijadikan
kebiasannya semenjak usia tamyiz hingga ia menjadi mukallaf (balig). Hal ini
terus berlanjut secara bertahap menuju fase dewasa sehingga ia siap mengarungi
lautan kehidupan.
Abdullah Nashih Ulwan menempatkan pendidikan akhlak pada pasal ke 2
setelah pendidikan iman, hal ini karena pendidikan iman merupakan faktor yang
dapat meluruskan tabiat yang menyimpang dan memperbaiki jiwa kemanusiaan. Tanpa
pendidikan iman, maka perbaikan, ketentraman dan moral tidak akan tercipta.
Dengan kata lain pendidikan iman dan pendidikan akhlak merupakan satu kesatuan
yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya.
Hal ini selaras dengan pendapat Abdul Wahab Asy-Sya’roni yang
menyatakan bahwa seluruh kegiatan pendidikan bersumber dan bermuara kepada
Allah. Ilmu dan keahlian seseorang diaplikasikan dalam kehidupan sebagai
realisasi konkrit pengabdian kepada Allah.
Upaya ini diawali dengan menanamkan nilai akhlak karimah, kemudian
diimplementasikan melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur dan pemelihara
kehidupan di dunia, sebab tujuan akhir pendidikan adalah pembentukan insan
kamil.[1]
Hubungan antara iman dan akhlak dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu:[2]
Pertama, dilihat dari
segi obyek pembahasannya, pendidikan iman membahas masalah Tuhan baik dari segi
zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang
demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang
dilakukan manusia, sehingga perbuatan itu akan tertuju semata-mata karena Allah
SWT. Dengan demikian akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan
keikhlasan merupakan salah satu akhlak yang mulia.
Kedua, dilihat dari
segi fungsinya, pendidikan iman menghendaki agar seseorang yang beriman tidak
hanya cukup dengan menghafal rukun iman dengan dalil – dalilnya saja, tetapi
yang terpenting adalah agar orang beriman meniru dan mencontoh terhadap subjek
yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika
kita percaya bahwa Allah memiliki sifat - sifat yang mulia, maka sebaiknya
manusia yang beriman meniru sifat – sifat Tuhan itu. Allah SWT.
Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa keimana dalam Islam bukan
hanya mengakui adanya rukun iman lantas orang yang bersangkutan masuk surga dan
dihapus segala dosanya. Iman dalam islam sebenarnya menerima suatu ajaran
sebagai landasan untuk melakukan suatu perbuatan.
Maka tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan pendidikan anak
dari aspek moral, dan mengeluarkan petunjuk yang sangat berharga dalam
membentuk anak dan mengajarkan akhlak yang tinggi[3]
Abdullah Nashih Ulwan memberikan masukan kepada pada para pendidik,
terutama ayah dan ibu untuk mendidik anak mereka dengan kebaikan dan
dasar-dasar moral sejak usia dini.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak
mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan.[4]
Orang tua bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak mereka untuk
masa kini dan mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab
atas segalanya dari kelangsungan hidup anak mereka. Karena itu tidaklah
diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar terpikul kepada orang
tua.
Asy-Sya’roni menyatakan bahwa seorang anak mempunyai kecenderungan
mengikuti perilaku orang tua, sahabat dan orang-orang yang mengasuhnya. Oleh
karenanya, seorang anak bisa memiliki akhlak yang baik dan akhlak yang buruk
tergantung pada sumber yang ia pelajari atau sumber yang mengajarinya.[5]
Mengingat pentingnnya hidup keluarga, maka Islam memandang keluarga
bukan hanya sebagai persekutuan terkecil saja, melainkan sebagai lembaga hidup
manusia yang memberi peluang kepada anggotanya untuk hidup bahagia atau celaka
di dunia dan akhirat.
jadi, apabila pendidikan utama pada tahapan pertama menurut
pandangan islam adalah bergantung pada kekuatan perhatian dan pengawasan, maka
selayaknya bagi orang tua bertanggung jawab untuk menghindarkan anak dari
sifat-sifat tercela.
Ada 4 sifat yang bagi Abdullah Nashih Ulwan merupakan perbuatan
yang terburuk, terendah dan terhina, yaitu:[6]
Pertama, suka berbohong. Fenomena suka berbohong merupakan fenomena yang
terburuk menurut pandangan Islam. Kebohongan dikategorikan sebagai sifat yang
terburuk karena:
1.
Islam
telah memandangnya sebagai tanda-tanda kemunafikan.
2.
Islam
telah mengatakan bahwa orang yang melakukannya akan mendapat murka Allah. Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: “Ada
tiga macam manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat,
tidak akan disucikan dan tidak akan diperhatikan. Mereka akan mendapatkan azab
yang sangat pedih. Yaitu kakek-kakek yang berzina, raja pendusta dan orang
miskin yang sombong”.
3.
Nabi
Muhammad Saw memandang kebohongan sebagai peng khiatan yang besar.
Kedua, suka mencuri. Jika seorang anak sejak masa perkembangannyatidak
dididik untuk selalu mengingat Allah, maka secara bertahap anak tersebut dapat melakukan
penipuan, pencurian, dan pengkhiatan.
Untuk menjauhkan anak dari sifat mencuri hendaknya para orang tua
menanamkan akidah, agar anak – anak
selalu mengingat dan takut kepeda Allah, menjelaskan akibat buruk dari mencuri,
dan menerangkan tentang ancaman Allah kepada seorang pencuri.
Ketiga, suka mencela
dan mencemooh. Ada dua faktor utama yang menimbulkan perilaku ini:
1.
Karena
teladan yang buruk. Apabila anak selalu mendengar kalimat buruk, celaan, dan
kata – kata mungkar, maka tentunya anak akan mudah meniru kalimat itu dan
membiasakan diri berkata kotor.
2.
Karena
pergaulan yang salah. Apabila anak dibiarkan bermain di jalanan dan bergaul
dengan teman –teman yang nakal, maka hal ini memungkinkan anak mempelajari kata
–kata kotor dari temannya. Peristiwa ini akan membuat anak tumbuh dewasa
berdasarkan pendidikan dan moralitas yang sangat buruk.
Oleh karenanya, wajib bagi orang tua dan pendidik untuk memberikan
teladan yang baik kepada anak dalam keindahan berbahasa maupun melunakkan
lisannya, mencegah anak agar tidak bergaul dengan teman yang nakal, menjelaskan
kepada anak akibat dari kecerobohan lisan, mengajarka anak hadis yang berisi
larangan mencela, serta menjelaskan siksa yang dipersiapkan Allah untuk orang
yang selalu mencela.
Keempat, kenakalan dan penyimpangan. Perilaku ini tersebar dikalangan muda
mudi muslim, mereka sering tersesat dalam taklid buta dan menghalalkan segala
cara tanpa kendali, baik dari agama maupun naluri sanubari.
Para reamaja mengira bahwa diantara kemajuan zaman adalah tarian
erotis dan pergaulan bebas, sedangkan tolak ukur pembaharuan dan pembangunan
adalah taklid buta. Sehingga mereka tidak lagi mempunyai perhatian dalam hidup
selain gaya dalam berpenampilan dan berjalan, serta berlagak dalam berbicara.
Rasulullah telah mencontohkan cara dan dasar pendidikan akhlak agar
anak terhindar dari kenakalan dan
penyimpangan remaja, yaitu:
1.
Menghindari
peniruan dan taklid buta.
2.
Tidak
terlalu larut dalam kesenangan dan kemewahan.
3.
Tidak
mendengarkan musik dan lagu –lagu porno.
4.
Tidak
bersikap dan bergaya menyerupai wanita atau sebaliknya.
5.
Larangan
bepergian, pamer diri, pergaulan bebas, dan memandang sesuatu yang diharamkan.
Jika kita mau menelusuri berbagai gejala yang menyebabkan timbulnya
perbuatan amoral anak, maka akan kita ketahui bahwa ini terletak pada kelalaian
para orang tua dalam memperhatikan anak–anak mereka. Mereka membiarkan anak
tidak terdidik dan tidak terarah.
Beberapa faktor yang menimbulkan perbuatan amoral dan kenakalan
remaja diantaranya:
1.
Orang
tua membiarkan anak bergaul dengan teman yang bersifat buruk.
2.
Orang
tua memperkenankan anak menonton film porno atau film–film kriminal.
3.
Orang
tua menyediakan sarana dan fasilitas untuk menyaksikan film porno.
4.
Orang
tua memperkenankan anak membeli buku bacaan porno.
5.
Orang
tua lalai menutup aurat keluarganya khususnya bagi remaja putri dan memberi
keleluasaan mereka untuk bepergian, bersolek, bergaul bebas, serta keluar
dengan aurat terbuka.
6.
Orang
tua tidak memantau putra –putrinya ketika berangkat dan pulang sekolah.
7.
Orang
tua mengabaikan perpustakan atau tempat penyimpanan buku anak.
Pada bagian ketiga pasal pertama dalam kita Tarbiyatul Aulad Fil
Islam Abdullah Nashih Ulwan menerangkan beberapa metode pendidikan yang
dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak, yaitu:[7]
1)
Mendidik
dengan keteladanan
Metode keteladan
dianggap sebagai pengaruh paling penting dalam pendidikan islam, keteladanan
menjadi dasar pengajaran dan kaidah pertama dari pendidikan. Keteladan juga
merupakan faktor yang berperan besar dalam perbaikan dan kerusakan umat.[8]
Anak memang
memiliki potensi yang besar untuk menjadi baik, namun sebesar apapun potensi
tersebut tidak akan berhasil tanpa melalu proses pendidikan dengan memberikan
teladan yang baik.
Dengan
keteladanan ini akan menjadi imitasi dan diikuti dengan identifikasi
nilai-nilai kebaikan untuk dipilih dan dilakukan. Metode ini memiliki nilai
persuasif sehingga tanpa disadari akan bisa terjadi perembesan dan penularan
nilai-nilai kebaikan.
2)
Mendidik
dengan kebiasaan
Seorang anak
semenjak lahir sudah diciptakan dengan keadaan bertauhid yang murni, agama yang
lurus, dan iman kepada Allah. Maka dari sini, tilabah saat pembiasaan,
pendiktean, dan pendisiplinan mengambil perannya dalam pertumbuhan anak yaitu:
menguatkan ketauhidan anak, akhlak yang mulia, jiwa yang agung dan etika
syari’at yang lurus.
Ketika seorang
anak telah memiliki faktor pendidikan Islam yang luhur dan faktor lingkungan
yang kondusif, maka bisa dipastikan anak tersebut akan tumbuh dalam iman yang
kuat, memiliki akhlak Islam, serta mencapai puncak keagungan jiwa dan pribadi
yang mulia.
3)
Mendidik
dengan nasihat
Metode ini
mendapatkan peranan yang besar dalam Islam, karena kedudukannya sebagai
salah satu media terpenting dalam pendidikan yang
berpengaruh dalam membentuk keimanan dan akhlak.[9]
Nasihat menurut
Asy-Sya’roni adalah penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan
menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya dan menunjukkan jalan yang
mendatangkan kebahagiaan dan manfa’at. [10]
Sebuah nasihat
yang tulus, berbekas, dan berpengaruh, jika memasuko jiwa yang bening , hati
yang terbuka, akal yang bijak dan mau berpikir, maka nasihat tersebut akan
mendapat tanggapan yang cepat dan meninggalkan bekas yang dalam.[11]
4)
Mendidik
dengan perhatian
Yang dimaksud
pendidikan dengan perhatian adalah
mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak
dalam pembinaan akidah dan moral, selain itu juga harus selalu bertanya tentang
situasi pendidikan jasmaninya.[12]
Islam
memerintahkan kepada para orang tua dan pendidik untuk memperhatika dan
senantiasa mengikuti serta mengontrol anak dalam segala aspek kehidupan dan
dalam pendidikannya.
Nabi Muhammad
SAW telah memberikan teladan yang baik dalam memperhatikan para sahabatnya.
Beliau selalu merasa kehilangan jika salah seorang sahabat tidak tampak, selalu
bertanya hal ikhwal mereka, memberikan perhatian kepada mereka yang lalai,
mendorong mereka yang baik, berbelas kasihan kepada mereka yang miskin dan
fakir.
5)
Mendidik
dengan hukuman (Sanksi)
Hukum –hukum
yang terdapat dalam Islam mengandung perkara penting yang tidak mungkin manusia
dapat hidup tanpanya. Hukuman dalam syari’at Islam disebut dengan had dan
ta’zir.
Had adalah hukuman yang ditentukan kadarnya oleh syari’at yang menjadi
hak Allah dan kewajiban bagi hamban-Nya.
Sedangkan ta’zir
adalah hukuman yang tidak ditentukan kadarnya oleh syari’at untuk setiap
maksiat yang didalamnya tidak terdapat had atau kafarat. Karena hukuman ta’zir ini tiak
ditentukan, maka pemimpin hendaknya hukuman yang sesuai dengan pendapatnya,
hanya saja jangan sampai kepada dejarat had.
Islam
mensyari’atkan kedua hukuman ini untuk merealisasikan kehidupan yang tenang,
penuh kedamaian, keamanan dan ketentraman. Karenanya tidak ada kezhaliman dan
diskriminasi. Semuanya sama dihadapan kebenaran, yang berbeda adalah kadar
ketakwaannya.
B.
Implementasi Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan Dalam Kitab Tarbiyatul
Aulad Fil Islam Tentang Konsep Pendidikan Akhlak Dengan Pendidikan Saat
Ini.
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Untuk meraih derajat
manusia seutuhnya haruslah melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat
menghasilkan insan-insan yang memiliki akhlak yang mulia, disamping memiliki
kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai.
Salah satu cara untuk mewujudkan manusia yang berakhlak adalah
dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran.
Nilai-nilai akhlak yang harus terwujud dalam sikap dan perilaku peserta didik
sebagai hasil dari proses pendidikan adalah jujur (olah hati), cerdas (olah
pikir), tangguh (olah raga), dan peduli (olah rasa dan karsa).
Pada tahun Pelajaran
2017/2018 ini sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Nomor: 253/KEP.D/KR/2017 Tentang Penetapan Satuan Pendidikan Pelaksana
Kurikulum 2013 Tahun 2017 dan Nomor: 254/KEP.D/KR/2017 Tentang Penetapan
Kembali Satuan Pendidikan Pelaksana Kurikulum 2013 Tahun 2016. Surat
keputusan tersebut menjadi dasar dan pijakan bagi satuan pendidikan untuk
melaksanakan Kurikulum 2013.
Salah satu perbedaan kurikulum 2013 dengan kurikulum-kurikulum yang
lain adalah dimana pada kurikulum 2013 ini konsep pendidikan tidak lagi
ditekankan pada konsep pengetahuan (Kognitif), namun yang utama adalah
pendidikan spritual (KI) dan pendidikan sosial (KI2). Adapun maksud Kurikulum
2013 adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik menuju kemampuan dalam
berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan
tujuannya adalah mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara.[13]
Konsep kurikulum 2013 tersebut selaras dengan konsep pendidikan yang ditawarkan
oleh Abdullah Nashih Ulwan dimana hirarki pendidikan menurut beliau adalah
sebagai berikut :
a.
Pendidikan
Iman;
b.
Pendidikan
Moral;
c.
Pendidikan
Fisik;
d.
Pendidikan
Rasio (Nalar)
e.
Pendidikan
Kejiwaan;
f.
Pendidikan
Sosial;
g.
Pendidikan
Seksual[14].
Menurut
Abdullah Nashih Ulwan yang paling utama bagi pendidikan anak adalah pendidikan
akhlak dan iman, ini sejalan konsep pendidikan di Indonesia saat ini Yakni
kurikulum 2013, diamana konsep pendidikan tersebut yang paling ditekankan
adalah kompetensi inti (KI) 1 dan
kompetensi inti (KI) 2 dimana KI1 dan KI2 adalah pendidikan spiritual dan
sosial.
Penguatan
karakter menjadi salah satu program prioritas bapak Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam nawa cita disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan revolusi
karakter bangsa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengimplementasikan
penguatan karakter penerus bangsa melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK) yang digulirkan sejak tahun 2016. Bahkan untuk memperkuat program
tersebut Bapak presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 87
Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Terdapat lima nilai karakter utama yang sesuai dengan konsep
pendidikan akhlak Abdullah Nashih Ulwan, yang menjadi prioritas pengembangan
gerakan PPK; yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan
kegotongroyongan. Masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang
sendiri-sendiri tetapi saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara
dinamis, dan membentuk keutuhan pribadi.
Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap
Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama
dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi
sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup
rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Implementasi nilai karakter religius
ini ditunjukkan dalam sikap cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama
dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama
dan kepercayaan, anti perundungan dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak
memaksakan kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.
Nilai
karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap
nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga
kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah
air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya,
suku, dan agama.
Adapun nilai
karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan
kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Karakter integritas meliputi
sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan
sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran.
Seseorang yang berintegritas juga menghargai martabat individu (terutama
penyandang disabilitas), serta mampu menunjukkan keteladanan.
Nilai
karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada
orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan
harapan, mimpi, dan cita-cita. Siswa yang mandiri memiliki etos kerja yang
baik, tangguh, berdaya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi
pembelajar sepanjang hayat.
Nilai
karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja
sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan
persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan.
Diharapkan siswa dapat menunjukkan sikap menghargai sesama, dapat bekerja sama,
inklusif, mampu berkomitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong
menolong, memiliki empati dan rasa solidaritas, anti diskriminasi, anti
kekerasan, dan sikap kerelawanan.
PPK
mendorong sinergi tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga (orang tua),
serta komunitas (masyarakat) agar dapat membentuk suatu ekosistem pendidikan.
Menurut Mendikbud, selama ini ketiga seakan berjalan sendiri-sendiri, padahal
jika bersinergi dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Diharapkan
manajemen berbasis sekolah semakin menguat, di mana sekolah berperan menjadi
sentral, dan lingkungan sekitar dapat dioptimalkan untuk menjadi sumber-sumber
belajar.
Menurut
Mendikbud, kunci kesuksesan pendidikan karakter terletak pada peran guru.
Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung tuladho, ing madyo
mbangun karso, tut wuri handayani”, maka seorang guru idealnya memiliki
kedekatan dengan anak didiknya. Guru hendaknya dapat melekat dengan anak
didiknya sehingga dapat mengetahui perkembangan anak didiknya. Tidak hanya
dimensi intelektualitas saja, namun juga kepribadian setiap anak didiknya.
Tak hanya
sebagai pengajar mata pelajaran saja, namun guru mampu berperan sebagai
fasilitator yang membantu anak didik mencapai target pembelajaran. Guru juga
harus mampu bertindak sebagai penjaga gawang yang membantu anak didik
menyaring berbagai pengaruh negatif yang berdampak tidak baik bagi
perkembangannya. Seorang guru juga mampu berperan sebagai penghubung anak didik
dengan berbagai sumber-sumber belajar yang tidak hanya ada di dalam kelas atau
sekolah. Dan sebagai katalisator, guru juga mampu menggali dan mengoptimalkan
potensi setiap anak didik.
[1] Dr. H. Subidi, M.Pd, Abdul Wahab Asy-Sya’roni Sufisme dan Pengembangan
Karakter, Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2015
[2]Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, cet. 12, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, h. 18
[3] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Drs. Jamaludin Miri
LC., Jakarta:
Puataka Amani, 2002, Jilid I. hlm.197
[7]Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam , terj. Arif Rahman Hakim, Lc, dan Abdul Halim, Lc. Solo: Insan Kamil, 2012, h. 516
[8] Khalid bin Abdurrahman, Cara Islam Mendidik
Anak, terj. Muhammad Halabi Hamdi dan Muhammad Fadhil Afif, Jogjakarta:
AD-DAWA’, 2006, h. 215
[11] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Drs. Jamaludin Miri
LC., Jakarta:
Puataka Amani, 2002, Jilid II. Hlm.
68
[13] Lampiran KMA RI Nomor 165
Tahun 2004 tentang Pedoman Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
[14] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Drs. Jamaludin Miri
LC., Jakarta:
Puataka Amani, 2002, Jilid I. Hlm.
164