BAB I
PENDAHULUAN
Baru-baru ini di Indonesia ada
peristiwa “besar” yang mengejutkan kalau bisa dikatakan mengejutkan, yang bukan hanya bagi masyarakat Indonesia
tetapi juga kalangan internasional. Syeh Puji, seorang pengusaha besar di
Indonesia menikah untuk keduakalinya dengan seorang anak gadis di bawah umur.
Tidak ada yang salah dengan
peristiwa itu, terlebih lagi hukum di
Indonesia tidak melaranag poligami meskipun juga tidak menganjurkannya
Undang-Undang (UU) No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan membolehkan poligami
selama ada izin dari istrri, begitu juga dalam segi fiqih yang dibuat dari
beberapa abad yang lampau, cenderung membolehkan adanya poligami tersebut dalam
A-Qur’an surat Annisa’ ayat 3 yang artinya : ” Dan Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja”. Selalu dijadikan landasan perpikir atas berlakunya
poligami dengan syarat adanya keadilan. Namun kemudian, kenapa pemerintah
melalui Mentri Pemberdayaan Perempuannya berinisiatif untuk memperketat berlakunya poligami tidaka
hany untuk PNS seprti yang sudah diberlakukan
dalam peraturan pemerintah (PP) No. 10 tahun 1983 yang direvisi oleh PP No.45
tahun 1990. bahkan sebelumnya pemerintah mendeklarasikan akan melarang adanya
poligami dengan merevisi UU tentang perkawinan tersebut, dan menghukum siapapun
pelakunya. Apakah tepat kebijakan tersebut diberlakukan di Indonesia yang
mayoritas Muslim?.
BAB II
PEMBAHASAN
Perbincangan agama, tidak
dalam ruang hampa. Dari sudut pandang perempuan, agama (dalam hal ini agama
Islam) sepertinya “mengurung” perempuan dalam “naungan ideologi patriarki,
suatu pandangan hidup di mana rujukan nilai-nilai dan perilaku kehidupan manusia
didasarkan pada konsep keunggulan sang ayah, yaitu kaum laki-laki.
Dalam budaya patriarki, agama
berfungsi untuk meligitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki.
Sehingga tidak mungkin bicara tentang hak-hak perempuan secara adil, tanpa melihat bagaimana ideologi
patriarki ini bekerja dalam ilmu tafsir atau ilmu fikih yang sarat akan muatan
kepentingan, di antaranya memperkuat kembali sistem monarki absolut pada abad
pertengahan dengan institusi harem
dan purdah. Lebih spesifik lagi mengutip
Geertz bahwa agama dalam kehidupan masyarakat berfungsi untuk menetapkan
seksualitas dan status orang dewasa dan rasionalisasi hak-hak sosial yang
istimewa dalam masyarakat.
Satu hal yang tidak
terlewatkan, bahwa kita semua sesungguhnya dikuasai oleh suatu cara bernalar
yang disebut nalar mediatik, bahwa kita semua tidaklah mungkin lagi untuk
melihat kenyataan hidup sehari-hari sebagai mana adanya, tetapi harus melalui
media; televisi, koran, majalah dan lain-lain. Suatu media dengan muatan
kepentingan yang sangat rumit dan penuh jebakan semantik yang memusingkan.
Nalar mediatik akan menciptakan apa saja yang kita perbincangan menjadi terasa
mengawang di atas atau di bawah kenyataan hidup. Syeh Puji dalam hal ini,
merupakan salah satu tokoh yang sering bermain dan dimainkan dalam cara
berpikir nalar tersebut. Segala gerak, perkataan dan prilakunya dapat dengan
mudah diketahui dan dicontoh oleh masyarakat melalui media sehingga kemudian
membentuk identitas komunal tersendiri. Suatu yang sederhana jika dilakukan
oleh seseorang yang bernama Syeh Puji, akan menjadi istimewa dengan nalar
mediatik yang diciptakan.
Menarik kemudian membedah
alasan-alasan laki-laki dengan rezim patriarki ini melakukan poligami, yaitu
bahwa mereka bisa berlaku adil. Ada ungkapan bahasa latin memberi isi yang
cukup jelas tentang apa itu keadilan. Tribuere Suum Cuique, artinya memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya. Dari sini maka keadilan berarti
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Berbingkai pertanyaan
lalu apa hak setiap orang itu?.
Dalam perjalanan kesadaran
manusia, dikenal dua macam hak yaitu pertama, hak yang melekat pada seseorang
begitu ia lahir sebagai manusia dan kemanusiaannya. Inilah yang disebut sebagai
hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar kodratinya sebagai manusia dan
melekat atas kemanusiaannya untuk berkembang sebagai pribadi berharkat meliputi
hak mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak. Kedua, hak yang
bersumber dari tindakan atau laku manusia yang bebas untuk berpendapat, bersuara,
berserikat dan membuat pilihan-pilihan perjanjian di bawah kontrak.
Dengan berbingkai pemahaman,
penalaran dan penghayatan mengenai sesuatu yang disebut adil, maka lahirlah
keadilan individual sebagai rasa yang
ditentukan oleh seseorang berdasarkan apa yang dia serap dari tradisi
kultur masyarakatnya dan ia jadikan pandangan, serta keadilan sosial ketika
wujud yang adil itu dikonstuksi oleh
struktur kuasa, hubungan kuasa ekonomis, budaya dan sosial kehidupan
masyarakatnya. Maka ketika memaknai keadilan, tidak dipandang secara parsial
apa yang menurut pandangan pribadinya adalah adil. Dalam konsep keadilan
individu sekalipun, kultur masyarakat
merupakan salah satu sumber untuk menilai keadilan
tersebut. Dalam formalisme etis, suatu tindakan bersifat moralitas jika suatu
maksim yaitu tindakan pribadi (prinsip yang berlaku secara subjektif) sesuai
dan bisa dijadikan sebagai hukum (prinsip yang bersifat umum dan berlaku bagi
semua orang tanpa kecuali). Maka tindakan pribadi terlebih lagi tindakan
seorang public figure, harus melihat
kesesuaian dengan beberapa prinsip keadilan tersebut di atas. Ketika sang ayah
poligami, adalah hak bagi dia untuk
berkeluarga dan melakukan perjanjian dengan kontrak, tetapi tidak berarti
dengan begitu saja menegasikan hak-hak manusia yang lain yaitu istri dan anak.
Tidak bisa dipungkiri ketika ada istilah istri lain selain dari ibu kandungnya,
akan menimbulkan kekecewaan bagi sang anak dan kemudian mempengaruhi psikologi,
pandangan dan kepercayaannya
terhadap keluarga sehingga haknya untuk berkembang
sebagai seseorang yang berharkat, sulit untuk terpenuhi. Terlebih lagi dengan
memperhatikan adanya keadilan sosial, dengan peran mediatik maka peran-peran
dari para aktor kuasa akan dapat dengan mudah mempengaruhi pola pikir dan
prilaku masyarakat. Tak terbayangkan jika 20% saja umat Islam di Indonesia
mengikuti lakon dari idolanya tersebut!!!.
Kemudian, karena dua rezim
patriarki dan nalar mediatik masih kuat
mencengkeram kesadaran dan pikiran sebagian besar
warga negara, maka perlu ditempuh tiga strategi untuk membahas dan memenuhi
hak-hak perempuan. Pertama, strategi
mendiamkan fiqh yang lama, yaitu menghadapkan antara teks-teks agama berikut
penafsirannya, hukum-hukum fiqh, pendapat para juru bicara agama yang tidak
adil, bias dan tidak peka kepada kepentingan pemenuhan hak-hak perempuan,
dengan berbagai kenyataan kehidupan di mana dalil-dalil agama yang dikemukakan
menjadi bungkam. Maka terpaksa menunda menuntaskan persoalan tersebut (mauquf)
dan bernegosiasi
dengan alat analisa yang lain.
Kedua, strategi aktualisasi
yaitu, melakukan apa saja yang dianggap baik dengan prinsip-prinsip yang
dibangun di atas analisa sosial-budaya tanpa menghiraukan “agama yang telah
berkonsolidasi dengan patriarki”. Karena watak fiqh, terutama di Indonesia ini
adalah beradaptasi dengan kenyataan, bukan mengubah kenyataan. Artinya, jika
hak-hak perempuan telah menjadi kenyataan hidup sehari-hari semua orang, pada
akhirnya fiqh
akan memberi legitimasi.
Ketiga, membangun fiqh baru
yang lebih ramah terhadap kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan umat. Mencoba
menghidupkan semangat awal ketika hukum modern dibangun yaitu dengan
mengedepankan pendekatan keadilan komutatif yaitu keadilan yang dibangun
berdasakan kesepakatan bersama, daripada keadilan distributif ketika keadilan
berdasarkan keputusan penguasa (dalam hal ini bisa berarti penguasa agama).
Ketika para penguasa agama memakai pendekatan keadilan distributif dan
menganggap bahwa tertib sosial dalam masyarakat merupakan karya agung Sang Maha
Pencipta dan merupakan pre-established dituangkan dalam ayat-ayat Tuhan, maka yang terjadi adalah penindasan
atas nama agama. Namun jika menggunakan pendekatan keadilan komutatif, ada
dialog antara berbagai kepentingan yang bersifat dinamik dan tak kenal henti
dalam jaring sebab-akibat sehingga ada ”tawar menawar” yang bersifat saling
menguntungkan. Mencoba menelitik ayat tersebut dengan
bacaan yang luas, Fazlur Rahman misalnya, melihat bahwa praktek poligami
mereduksi keinginan dari Al-Qur’an. Yang diinginkan Al-Qur’an bukanlah praktek
beristri banyak karena tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan
Al-Qur’an terhadap perempuan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama. Syarat adanya keadilan,
merupakan kiasan bahwa sesungguhnya laki-laki tidak mampu melakukannya.
Dalam ayat lain, Al-Qur’an
menyatakan bahwa ”kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil di antara
istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (Q.S. An-Nisa (4)
ayat 129). Prinsip inilah yang seringkali terlewatkan oleh para ulama. Padahal
jika saja ayat yang membolehkan untuk poligami tersebut dibaca dan dipahami
secara utuh, maka sungguh Al-Qur’an menganjurkan untuk monogami. Dan itulah
moral yang sebenarnya ingin dibangun oleh Al-Qur’an. Para ulama mungkin lupa
bahwa pesan-pesan Al-Qur’an dibangun mengiringi tradisi dan budaya masyarakat
di zamannya. Siapapun orangnya, baik itu ulama, tokoh masyarakat, anggota DPR, presiden,
dosen, adalah tidak akan mampu berlaku adil. Maka sebenarnya, menjadi gugur pulalah
kebolehan untuk melakukan poligami.
BAB III
PENUTUP
Demikian bahwa dengan peran
media, maka setiap perbuatan dari seorang tokoh agama adalah merupakan ideologi
bahkan hukum baru bagi masyarakat, berbeda jika yang melakukan adalah orang
biasa yang tidak memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Maka dalam hal ini,
hukum Islam bisa berlaku berbeda bagi masing-masing subjek hukum tersebut. Efek
yang diakibatkan oleh seorang tokoh agama sangatlah besar bagi perubahan wacana
dan prilaku masyarakat. Jika poligami kemudian menjadi culture dalam masyarakat Indonesia, dengan
inspirasi dari para tokoh agama, berapa banyak perempuan yang mengalami
kekerasan psikis yang kemudian berpengaruh kepada kehidupannya sebagai manusia,
dan semakin tidak terpenuhinya hak-hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dan perlindungan
dari kedua orang tuanya yang hal ini bisa berakibat kepada masa depan anak
tersebut.
Maka tepatlah ketika dengan
segera pemerintah merespon fenomena ini dengan berinisiatif memperketat ruang
gerak poligami melalui PP, bahkan lebih tepatnya lagi jika merevisi
undang-undang tentang Perkawinan sebagai upaya mencegah semakin banyaknya
pelanggaran hak dan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berakibat
terhadap adanya chaos dalam kondisi
sosial masyarakat Indonesia. Undang-undang ini jika diberlakukan, merupakan
fiqh baru (yang akan menjadi qanun/hukum
positif) sebagai social control dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat
dengan prinsip utilitarianisme, kemanfaatan yang sebanyak-banyaknya bagi
sebanyak-banyaknya orang dengan keberpihakan kepada kelompok marginal (dalam
hal ini perempuan dan anak). Wallahua’lam.