BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
“Al-Qur’an memberikan kemungkian arti yang tak
terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah
pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”(Muhammad Arkoun).
Betapa
indah gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan Al-Qur’an. Sepanjang zaman
Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan penafsiran (interpretasi baru)
sesuai background sang penafsir. Pendapat Muhammad Arkoun di atas, dapat
kita buktikan dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam
dan Mutasyabih.
Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah
penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai
hakikat Muhkam
dan Mutasyabih.
Dalam
Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata Muhkam dan Mutasyabih.
Pertama,
lafal Muhkam,
terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه….
artinya: Sebuah
Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya….
Kedua, lafal Mutasyabih terdapat dalam
Q.S. Zumar [39]: 23
…كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ….
Artinya:…(yaitu)
Al-Qur’an yang serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang….
Ketiga, lafal Muhkam dan Mutasyabih
sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]:
7:
هُوَ
الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ
و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى
قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ
وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ
وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا…
Artinya:“Dialah
yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat
yang merupakan induk dan lainnya Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya1 padahal tidak
ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya
berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat semuanya itu dari sisi
Tuhan kami”…
Berdasarkan
tiga ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat
tentang masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam berdasarkan
ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa
Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga
berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an Muhkam dan lainnya Mutasyabih
berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan
dengan Muhkam-nya
Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara
ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua adalah
menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan
kemukjizatannya.
Dalam
makalah ini, akan dibahas pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir mengenai
hakikat ayat Muhkam dan Mutasyabih
dalam Al-Qur’an
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas, makalah ini dapat kita rumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Muhkam Mutasyabihat ?
2. Apa sebab-sebab Tasyabuh dalam Alqur’an?
3. Apa makna dari Fawatihus As-Suwar?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang ayat-ayat Muhkam Mutasyabihat ?
5. Bagaimana Sikap Positif dalam Memahami Muhkam
Mutasyabihat ?
C.
Tujuan Penulisan
Dari paparan rumusan makalah diatas, maka penulisan makalah
ini tujuannya adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian
Muhkam Mutasyabihat.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab
Tasyabuh dalam Alqur’an.
3. Untuk mengetahui makna dari Fawatihus As-Suwar.
4. Untuk menjelaskan pandangan ulama
tentang ayat-ayat Muhkam Mutasyabihat.
5. Untuk menjelaskan Sikap
Positif dalam Memahami Muhkam Mutasyabihat.
D.
Manfaat Penulisan
a.
Bagi guru
Dengan makalah ini
dapat dijadikan guru sebagai acuan dan pedoman dalam
mempelajari ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Alqur’an dan menamabah
cakrawala wawasan pengetahuan tentang
problem-problem yang dihadapi pendidikan Islam di era global ini.
b.
Mahasiswa
Dengan materi ini
dapat dijadikan tambahan cakrawala wawasan disiplin kelimuan pendidikan Islam terutama metode-metode dalam mempelajari tafsir Alqur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Kata muhkam
dan mutasyabih adalah bentuk mudzakar untuk menyifati kata – kata yang
mudzakar pula, seperti kita mengatakan, "Al-Qur'an itu muhkam atau mutasyabih?".
Sedangkan kata muhkamah dan mutasyabihat merupakan kata muannats
untuk menyifati kata muannats pula, seperti kita mengatakan "Dalam
Al-qur'an terdapat ayat muhkamah dan mutasyabihat".[1]
Muhkam dan mutasyabih berasal dari
kata muhkam merupakan pengembangan dari kata ahkama – yuhkimu – ihkaman. Maka ihkama
secara bahasa ialah atqana wa mana’a yang
berarti mengokohkan dan melarang, dari pengertian itu maka al muhkam
menurut makna luqhah ialah at mutqan artinya yaitu dikokohkan, sedangkan
kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yakni bila satu dari
dua hal serupa dengan yang lain. Dan subhah ialah keadaan di mana salah
satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya
kemiripan di antara keduanya secara kongkrit maupun abstrak.[2]
Menurut istilah ayat muhkam
ialah ayat yang memberikan makna yang jelas dan tegas. Muhammad Adib Salih,
Muhammad Abu Zahrah dan Muhammad Salam Madzkur memilih pengertian atau definisi
ini. Para Ulama memberikan pengertian muhkam dan sekaligus menjelaskan mutasyabih
sebagai kata lawan dari muhkam.[3]
Al-mutasyabihat secara kebahasaan berarti mirip,
tidak jelas, atau samar-samar. Dalam ilmu tafsir al-mutasyabihat berarti
"ayat yang mengandung makna atau pengertian yang tidak tegas atau
samar-samar karena artinya berdekatan atau terdapat beberapa pengertian". Al-mutasyabihat
merupakan istilah populer dalam ilmu tafsir, lawan dari al-muhkamat (tegas,
jelas)[4].
Mengenai adanya ayat – ayat muhkamat dan mutasyabihat,
sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 7 :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran : 7).
Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam masalah definisi muhkam dan mutasyabih,
terjadi banyak perbedaan pendapat, akan tetapi bisa dikemukakan tiga hal
penting yaitu :
1.
Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui
maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah
sendiri.
2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu segi, sedangkan mutasyabih
mengandung banyak segi.
3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa
memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukan penjelasan
dengan merujuk kepada ayat-ayat lain[5].
B.
Sebab-sebab Tasyabuh Dalam Alqur’an
Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur'an disebabkan tiga hal sebagai
berikut :
1. Kesamaran pada lafal
Contoh: Q.S. Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Artinya: Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal أَبٌّ di
sini Mutasyabih karena
ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan
berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Artinya: Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang
ternakmu.
Ar-Raghib al-Asfhani membagi Mutasyabihat
dari segi lafal menjadi dua:
a. Lafal mufrad, yaitu ada lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas,
baik disebabkan lafalnya yang gharib (asing) atau musytarak (bermakna ganda).
b. Lafal murakkab,
yaitu kesamaran yang disebabkan lafal-lafal murakkab (lafal yang tersusun dalam
kalimat) itu terlalu ringkas, atau terlalu luas, atau karena susunan kalimatnya
kurang tertib.
2. Kesamaran pada makna ayat
Terkadang terjadinya ayat mutasyabihat karena adanya kesamaran pada
makna ayat. Seperti makna dari sifat-sifat Allah swt., Rahman RahimNya, sifat
Qudrat IradatNya, hal ihwal hari kiamat, kenikmatan sorga, siksa kubur, dan
sebagainya.
Contoh : Q.S. al-Fath
[48]: 10
…يَدُ
اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Artinya: “…tangan Allah di atas tangan mereka”
3. Kesamaran
pada lafal dan
makna ayat
Contohnya :
Artinya : "Dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan
itu ialah kebajikan orang yang bertakwa".(QS. Al Baqarah : 189)
Orang yang tidak mengerti
adat istiadat bangsa Arab pada masa Jahiliyah, tidak akan faham terhadap maksud
ayat tersebut. Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya,
karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat
kebiasaan khusus orang Arab, yang tidak mudah diketahui oleh bangsa-bangsa lain[6].
C.
Menjelaskan Fawatih As-Suwar
1.
Pengertian Fawatih As-Suwar
Secara
bahasa, fawatih al-suwar adalah pembukaan-pembukaan surat yang terdapat dalam
al-qur’an, karena posisinya terletak diawal surat dalam al-qur’an. Seluruh
surat dalam al-qur’an di buka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak ada satu
surat pun yang keluar dari sepuluh macam tersebut. Setiap macam pembukaan
memiliki rahasia tersendiri sehingga sangat penting untuk kita pelajari.
Diantara
pembuka surat itu diawali dengan huruf-huruf terpisah (al-Ahruf al-Munqata’ah).
Dan orang sering mengidentikan dengan fawatih al-suwar. Dan diantara ulama yang
mengidentikannya adalah Manna Khalil al-Qathan dalam karya nya ‘‘Mabahis Fi
Ulum al-Qur’an’’ padahal huruf al-Muqaththa’ah bagian dari fawatih al-suwar.
2.
Macam-macam Fawatih As-Suwar
Beberapa
ulama telah melakukan penelitian tentang fawatih al-suwar dalam al-Qur’an,
diantaranya adalah imam al-Qasthalani, beliau membagi kepada sepuluh macam.
Sementara ibnu Abi al-Isba juga telah melakukan penelitian dan beliau membagi
kepada lima macam saja. dan dalam pembahasan ini kami akan mengetengahkan
pendapat al-Qasthalani : Adapun sepuluh macam menurut beliau adalah:
a.
Pembukaan pujian kepada Allah swt.
Pujian kepada Allah ada dua macam yaitu:
Pujian kepada Allah ada dua macam yaitu:
1)
menetapkan sifat-sifat terpuji (الاءثبات الصفات الماض). Dengan manggunakan lafaz yaitu:
a). Memakai lafaz hamdalah yakni dibuka dengan الحمد لله yang terdapat dalam lima surat.
b). memakai lafaz تبارك terdapat dalam dua surat.
a). Memakai lafaz hamdalah yakni dibuka dengan الحمد لله yang terdapat dalam lima surat.
b). memakai lafaz تبارك terdapat dalam dua surat.
2)
Mensucikan Allah dari sifat-sifat
negatif (تشبح عن صفات نقص) dengan menggunakan lafaz tasbih (يسبح,
سبح, سبح, سبحن). Sebagai mana
terdapat dalam tujuh surat.
b.
Pembukaan dengan panggilan (الا ستفتح بنداء)
Nida disini ada 3 macam, yaitu Nida untuk nabi, misalnya (ياايها النبي)
terdapat dalam tiga surat. Nida untuk Mukminin (ياايها
الذين امنوا) terdapat tiga
surat. Dan Nida untuk manusia (ياايها الناس) terdapat dalam dua surat.
c.
Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus (الا ستفتح
بالاحرف المنقطعه)
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 surat tanpa diulang yaitu: ا, ى, ه, ن, م, ل, ق ,ع, ط, ص, س, ر,ح. Penggunaan huruf-huruf di atas dalam fawatih al-Suwar disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari beberapa bentuk sebagai berikut:
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 surat tanpa diulang yaitu: ا, ى, ه, ن, م, ل, ق ,ع, ط, ص, س, ر,ح. Penggunaan huruf-huruf di atas dalam fawatih al-Suwar disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari beberapa bentuk sebagai berikut:
1). Terdiri
dari satu huruf, terdapat dalam tiga surat yakni ص (QS.Shad),ق (QS.Qaf), dan ن (QS, Qalam).
2).Terdiri dari
dua huruf, terdapat dalam 10 surat, 7 surat dinamakan Hawamim(surat-surat yang
dibuka dengan Hamim), yakni: (QS, Al-Mukmin,Al-fussilat, Al-surra, Al- Zuhruf,
Al- Dukhan, Al- Jatsiah, Al- Ahqaf), طه (QS, Taha), طس (QS, Naml) يس (QS, Yasin).
3).Terdiri dari
tiga huruf, enam surat dimulai dengan الم yaitu: (QS, Al-Baqarah,
Al- Imran, Al-Ankabut, Ar-Rum, Lukman, dan Al-Sajdah), lima surat dimulai
denganاالر
yaitu: (QS, Yunus, Hud, Ibrahim, Yusuf dan Al-Hijr), dan dua surat dimulai
denganطسم
yaitu: (QS, Qashash dan Asy-Syuaro).
4)..Terdiri
dari empat huruf yaitu: المر (QS, Al-Ara’ad) dan المص (QS, Al-A’raf).
5). Terdiri
dari lima huruf yaitu: كهيعص
(QS, Maryam), dan حم عسق
(QS, Al-Syuara).
d.
Pembukaan dengan
sumpah (الاءتتفناح بقسام)
Terdapat dalam 16 surat dibagi kepada tiga bagian sebagai berikut:
Terdapat dalam 16 surat dibagi kepada tiga bagian sebagai berikut:
1)
Sumpah dengan benda angkasa
misalnya: والنجم (QS, An-Nazm), والسماء والطارق (QS, Ath-Thariq), dan lain-lain.
2)
Sumpah dengan benda bawah misalnya: والتين (QS,
At-Tin), والعديت (QS, Al_’Adiyat), dan lain-lain.
3)
Sumpah dengan waktu misalnya: والعصر (QS,
Al-Ashr), واليل (QS, Al-Lail), dan lain-lain.
e.
Pembukaan dengan kalimat (jumlah) Khabariah ada 23 surat dan dibagi dua macam
sebagai berikut:
1)
Jumlah ismiyah, jumlah ismiyah menjadi pembuka surat yang terdiri dari 11
surat yaitu: براءة من الله ورسوله (QS, At-Taubat), سورة انزلناها
وفرضناها (QS, An-Nur).
2)
Jumlah fi’liyah, jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat terdiri dari 12
surat yaitu: يسئلونك عن الانفال (QS, Al-Anfal), قد افلح المؤ
منون (QS, Al-Mukminun) dan
lain-lain.
f.
Pembukaan dengan Syarat (الاءستفتاح با لشرط)
Terdiri dari tujuh surat misalnya اذالشمس كورت (QS, At-Takwir).اذالسماء انفطرت (QS, Al Inpithar) dan lain-lainnya.
Terdiri dari tujuh surat misalnya اذالشمس كورت (QS, At-Takwir).اذالسماء انفطرت (QS, Al Inpithar) dan lain-lainnya.
g.
Pembukaan dengan kata perintah.
Adapun pembukaannya terdiri dari enam surat yaitu: dengan kata اقرا dalam surat Al-Alaq, dan dengan kata قل dalam surat al-Jin, al-Kfirun, al-Falaq, dan al-Annas.
Adapun pembukaannya terdiri dari enam surat yaitu: dengan kata اقرا dalam surat Al-Alaq, dan dengan kata قل dalam surat al-Jin, al-Kfirun, al-Falaq, dan al-Annas.
h.
Pembukaan dengan
pertanyaan.(al-Istiftah bil Istifham).
Bentuk nya ada dua dan terdapat empat surat dalam al-Qur’an. Yaitu:
1). Pertanyaan fositif misalnya: هل اتي علي الانسان (QS. Ad-dahr).
2). Pertanyaan negatif misalnya: الم نشرح لك صدرك (QS, Al-Insyirah).
Bentuk nya ada dua dan terdapat empat surat dalam al-Qur’an. Yaitu:
1). Pertanyaan fositif misalnya: هل اتي علي الانسان (QS. Ad-dahr).
2). Pertanyaan negatif misalnya: الم نشرح لك صدرك (QS, Al-Insyirah).
i.
Pembukaan dengan do’a
Ada tiga surat didalam al-Qur’an. Misalnya:ويل للمطففين (QS, Al-Muthaffifin).
Ada tiga surat didalam al-Qur’an. Misalnya:ويل للمطففين (QS, Al-Muthaffifin).
j.
Pembukaan dengan alasan (al-Istiftah
bit-Ta’lil).
Ada satu surat didalam al-Qur’an. Misalnya لايلف قريش (QS. Al-Qurais).
Ada satu surat didalam al-Qur’an. Misalnya لايلف قريش (QS. Al-Qurais).
3.
Pendapat Para Uama’ Tentang Fawatih As-Suwar
Para ulama banyak yang membicarakan masalah
ini diantara mereka ada yang berani menafsirkan nya, yang mana huruf-huruf itu
adalah rahasia yang Allah saja yang mengetahuinya. Ada pun penafsiran ulama itu
adalah sebagai berikut:
a.
As-Suyuti menukil pendapat ibnu Abbas tentang
hurup tersebut adalah sebagai berikut: diantaranya: الم berarti الله اعلم انا yang berarti hanya aku yang paling tahu kemudian المص yang berarti A’lamu wa Afshilu
yaitu hanya aku yang paling mengetahui dan yang menjelaskan suatu perkara,
sedangkan المر berarti Ana Ara yang berarti aku melihat.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa makna كهيعص yaitu Kaf dari kata Karim yang
berarti mulia, Ha adalah Hadin yang berarti memberi petunjuk, Ya adalah Hakim
yang berarti yang maha bijaksana, Ain yaitu Alim yang berarti yang maha
mengetahui, dan Shad yaitu Shadiq yang berarti yang maha Benar. dan
sebagainya.Dikatakan bahwa pendapat ini hanyalah dugaan saja. kemudian
As-Suyuti menerangkan bahwa hal itu merupakan rahasia yang hanya Allah swt
sendiri yang mengetahuinya.
b.
Az- Zarkasyi berkata dalam tafsirnya
‘al-Qassyaf tentang huruf-huruf itu bahwa di dalamnya terdapat beberapa
pendapat yaitu: merupakan rahasia Allah yang hanya Allah sendiri nyang
mengetahuinya. Atau merupakan
nama surat, dan sumpah Allah swt dan supaya dapat menarik perhatian orang yang
mendengarnya.
c.
Al-Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu
merupakan peringatan bagi nabi, mungkin pada saat itu beliau dalam keadaan
sibuk, maka Allah menyuruh Jibril untuk memberikan perhatian terhadap apa yang
disampaikan kepadanya.
d.
As-sayyid
rasyid ridha tidak membenarkan al-quwaibi diatas, karena nabi senantiasa dalam
keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu. Rasyid ridha berpendapat
sesuai dengan ar-Razi bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang
musyrik mekkah dan ahli kitab madinah. Karena orang-orang kafir apabila nabi
membaca al-Qur’an mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak
mendengarkannya, seperti dijelaskan dalam surat fushilat ayat 26.
e.
Ulama salaf berpendapat bahwa ‘‘Fawatih
al-Suwar’’ telah disusun semenjak jaman azali, yang demikian itu melengkapi
segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan seperti al-Qur,an.[7]
D.
Pandangan Ulama’ Tentang Ayat-ayat Muhkam Mutasyabihat
Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat Mutasyabihatyang
menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى وَجْهُ
رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Terjemahan: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam
Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Terjemahan: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas ‘Arsy.[8]
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua
mazhab.[9]:
1.
Mazhab Salaf, yaitu
orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat Mutasyabih itu
dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui
hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui
hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah
atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`,
dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ
وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ
السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Terjemahan: Istiwa`
itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada),
saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya,
makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan
tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat.
sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan
Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’
di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui
maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan
mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا
بِه
Terjemahan:
Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang
mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam
tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).
2.
Mazhab Khalaf, yaitu ulama
yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut
pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan
ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan
perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan
berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat
“mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa.
Demikian sistem penafsiran ayat-ayat Mutasyabihatyang ditempuh oleh
ulama Khalaf.[10]
Alasan
mereka berani menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, menurut mereka, suatu
hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang
mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak
bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untuk melakukannya.[11]
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga
mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah
hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ : (وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman
Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang
mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)[12]
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu
Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu
Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak
memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta
mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab
khalaf. Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan
syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi
Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmidan
dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.
Sejalan dengan ini, para ulama
menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak
dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan
salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan
pendapatnya dengan argumen aqli.[13]
E.
Sikap Positif Ulama’ Dalam Memahami Muhkam Mutasyabihat
Para ulama menyebutkan beberapa Sikap positif atau hikmah dari adanya ayat-ayat mutasyabih, di antaranya:
1.
Mengharuskan
upaya lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga dengan demikian menambah
pahala bagi yang berusaha untuk itu.
2.
Seandainya Alquran seluruhnya muhkam niscaya
hanya ada satu madzhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan yang lain,
selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut madzhab tidak mau menerima
dan memanfaatkannya. Tetapi jika
mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari penganut madzhab itu
akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka semua
penganut madzhab memperhatikan dan memikirkannya. Jika mereka terus menggalinya
maka akhirnya ayat-ayat yang muhkam menjadi penafsir bagi ayat-ayat yang
mutasyabih.
3.
Apabila Alquran ada ayat-ayat mutasyabih, maka
untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dan yang
lainnya, selanjutnya hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa,
gramatika, bayan, ushul fiqih dan lain sebagainya. Seandainya tidak demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu
tersebut.
4.
Alquran
berisi dakwah kepada orang-orang tertentu dan orang-orang umum. Orang-orang
awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu jika
mereka mendengar tentang sesuatu yang ada tetapi tidak berwujud fisik dan
berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak benar, kemudian ia
terjerumus kepada ta’thil (peniadaan sifat Allah). Oleh sebab itu sebaiknya
mereka diajak bicara dengan bahasa yang menunjukkan kepada orang yang sesuai
dengan imajinasi dan khayalnya dan dipadukan dengan kebenaran yang bersifat
empirik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Menurut istilah ayat muhkam ialah ayat yang
memberikan makna yang jelas dan tegas. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui
maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah
sendiri.
2.
Sebab tasyabuh dalam Alqur’an adalah
kesamaran pada lafal, kesamaran pada makna, kesamaran pada lafal dan makna.
3.
Fawatih
al-suwar adalah pembukaan-pembukaan surat yang terdapat dalam al-qur’an, karena
posisinya terletak diawal surat dalam al-qur’an. Seluruh surat dalam al-qur’an
di buka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak ada satu surat pun yang keluar
dari sepuluh macam tersebut.
4. Pandangan Ulama’ Tentang
Ayat-ayat Muhkam Mutasyabihat ada du madzhab yakni Mazhab Salaf, yaitu
orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat Mutasyabih itu
dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mazhab Khalaf, yaitu
ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut
pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan
ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan
5. Sikap positif atau hikmah dari adanya ayat-ayat mutasyabih diantaranya
adalah Mengharuskan upaya lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga
dengan demikian menambah pahala bagi yang berusaha untuk itu, Seandainya
Alquran seluruhnya muhkam niscaya hanya ada satu madzhab, sebab kejelasannya
itu akan membatalkan yang lain, selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para
penganut madzhab tidak mau menerima dan memanfaatkannya.
B.
Saran
Sebaiknya jika kita dalam memaknai ayat-ayat yang mutasyabih dilakukan
dengan cermat dan teliti, dan yang utama kita harus mengetahui disiplin ilmu
tentang alqur’an dan tafsir alqur’an. Karena jika salah memaknai ayat-ayat
tersebut maka akan dapat mengakibatkan kesalahan yang fatal, apalagi ayat-ayat
yang ada kaitannya dengan dalil yang dijadikan hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an,
Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2006
Djalal, Abdul, Ulumul Qur'an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000
Ensiklopedi Islam, hal. 624.
Jalal, Abdul, Ulumul Quran,
Dunia Ilmu, Surabaya, 1998
M. Armando,
Nina … (et. al), Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2005
Syadali,
Ahmad dan Rofi’i, Ahmad, 2000. Ulumul
Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka setia
[2] Syaikh Manna'
Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Pustaka Al Kautsar,
Jakarta, 2006, hlm. 265.
[4] Nina M.
Armando … (et. al), Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2005, hal. 138.
[5] Syaikh Manna'
Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Pustaka Al Kautsar,
Jakarta, 2006, hlm. 266
[8] Bersemayam di
atas ‘Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan
kebesaran Allah dan kesucian-Nya. ( Alqur’an Digital)
[9] Ahmad Syadali
dan Ahmad Rofi’i. 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV.
Pustaka setia, hal. 211-212.