PEMBAHASAN GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN



Islam diyakini sebagai sebuah agama yang memperhatikan seluruh kebutuhan umat manusia. Termasuk di dalamnya dorongan untuk menuntut ilmu. Dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, umat Islam pernah menhalami kejayaan pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Demikian juga kehadiran universitas Islam semisal Universitas al Azhar di Kairo didorong oleh semangat menuntut ilmu.
Namun setelah serangan Hulaghu Khan pada abad ke-13 Islam mengalami kemunduran. Beberapa saat setelah itu, dengan semangat kemodernan dan rasionalitas, Barat sebagai representasi kawasan Kristen mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini menurut umat Islam ternyata tidak diimbangi dengan agama dan spiritualitas yang baik. Barat diduga telah meninggalkan etika kemanusiaan dalam memajukan ilmu pengetahuan. Tidak heran, ilmu pengetahuan pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan kolonialisme dan kapitalisme.
Pada sisi lain, umat Islam mulai menyadari ketertinggalannya dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam hal yang menyangkut kebutuhan praktis manusia. Untuk urusan ini, umat Islam dapat menerima Barat tetapi sesuatu yang tidak patut ditiru adalah keterlepasan ilmu Barat dengan nilai-nilai agama, terutama pasca “perang” supremasi ilmu dan geraja era modern (abad ke-17 M). Hal ini mendorong ilmuwan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis agama. Persoalan yang muncul, mengapa Islam berkepentingan mendasari ilmu (termasuk ilmu yang berasal dari barat) dengan agama? Apakah Ilmu keislaman punya metodologi sendiri?Menjawab hal tersebut, yang perlu didudukkan pemahamannya adalah; apakah agama itu ilmu atau ilmu itu agama? Atau mungkinkah kedua kata itu muradif (sinonym) atau Musytarak?. Jika Ilmu keislaman merujuk pendapat Imaduddin Khalil di atas berarti Agama Islam itu sendiri, maka ilmu keislaman memiliki metodologi sendiri.
Menurut Mukti Ali (1996) metodologi memahami Agama Islam adalah metode tradisional (naqly) dengan menggunakan petunjuk dalil-dalil (nash) al Qur’an dan al Hadits, metode rasional (Aqly) dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidah berpikir logis (manthiq) dan metode mistis (kasyf) dengan menggunakan pendekatan intuisi, illumiation, ma’rifah dan istilah lain yang mengacu kepada makna.
Diantara sekian banyak tokoh atau cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang Islamisasi Ilmu adalah Ismail Raji al-Faruqi, Syekh Muhammad Naquib al-Attas, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Syeh Husain Nasir, Ziauddin Sardar.
Sejalan dengan persoalan diatas, kajian yang akan ditengarahkan adalah pemikiran yang akan diusung oleh al-Faruqi. Dalam paradigma Islamisasi ilmu pengetahuan tokoh ini memiliki pendapat yang cukup mengkritsal dibandingkan dengan tokoh yang lainnya. Guna mencari jawaban permasalahan tersebut dibutuhkan suatu kajian yang lebih lanjut.
ISMAIL RAJI AL-FARUQI

1. Biografi dan karya-karya Al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, sebuah daerah di Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya bernama ‘Abd al-Huda al-Faruqi. Ia mendapatkan pendidikan agama dari Ayahnya. Secara formal pendidikan yang dilalui al-Faruqi berlatar belakang barat, pendidikan pertamanya di Colllege des Fres sejak tahun 1926-1936. Selanjutya ia melanjutkan pendidikan tinggi di The American Univercity. Pada usia 24 ia diangkat menjadi gubernur di provinsi Galelia sampai provinsi ini jatuh ke tangan Israel. Hal ini yang menuntunnya hijrah ke Amerika.
Di negeri paman Syam ini, garis al-Faruqi berubah. Disini dia tekun bergelut di dunia akademis. Disinilah ia mendapat gelar master dengan judul tesisnya adalah ”On Justifiying the God Methaphysic an Efistemology of Value (Tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan Epistimologi Ilmu).
Selanjutnya dia hijrah ke Mesir selama empat tahun guna mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Universitas al-Azhar. Kecemerlangan karier a-Faruqi tidak terlepas dari istrinya Lois Lamya al-Faruqi. Bersama-sama mereka membentuk kelompok kajian keislaman seperti Moslem Student Association (MSA), Americaan Academy of Relegion (AAR) dan lain-lain.
Demikian gambaran Islmail Raji al-Faruqi sosok ideal, bibit unggul, pemikir dan ulama ternama ”Pejantan Tangguh” dalam dunia pendidikan Islam dan Dakwah Islam. Karya-karya terpentingnya di sini adalah The Trialogue of Abrahamic Faiths (Perbincangan Tiga Pihak Mengenai Agama-Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai-Esai dalam Kajian Islam dan Perbandingan, 1982), dan Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama-Agama Dunia, 1974), juga Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasi-Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan, 1982), di samping beberapa artikel di jurnal kajian agama.

2. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan al-Faruqi

a. Latar belakang dan Urgensi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan bagi al-Faruqi dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin ilmu modern dengan hazanah warisan Islam. Dengan demikian, umat Islam harus membagi, kemudian mengklasifikasikan disiplin ilmu-ilmu modern yang sesuai dengan pandangan dunia dan nilai-nilai Islam atau dengan versi lain Islamisasi ilmu pengetahuan, adalah suatu upaya untuk menyusun dan membangun hubungan disiplin itu dengan memberinya dasar baru yang Konsisten dengan Islam.
Pengusungan gagasan ini merupakan kebutuhan dan penting dilakukan. Pentingnya gagasan ini untuk menangkis serta mengimbangi perkembangan keilmuan pada waktu itu. Kemudian adanya perubahan paradigma berpikir ilmuan muslim produk barat serta adanya dualisme pendidikan. Secara luas berdasarkan analisis realitas menunjukkan bahwa umat Islam, paling tidak mayoritas kalau tidak ingin mengatakan seluruhnya, hari ini hanya sebagai penikmat sains yang telah ada. Yakni sains yang bersumber dari barat yang sekuler dengan label modern. Dimaklumi bahwa ilmu yang berkembang di Barat adalah Ilmu Sekule, sekulerisasi menyebabkan berpisahnya ilmu pengetahuan moderrn dari nilai-nilai spriritual.
Kondisi yang menganggap Al-Qur’an sebagai kitab yang sudah sempurna dan memuat semua persoalan yang ada tersebut, diperparah oleh suatu kondisi yag berupaya untuk mempertahankan identitas persaingan global. Sehingga ilmuan muslim cenderung bersikap defensif (bertahan) dengan mengambil posisi konservatif-statis (tertutup-diam).
Menurut al-Faruqi secara bersamaan pula, sistem pendidikan Islam cenderung mempertahankan tradisi kelimuan yang stagnan. Dalam pandangan pendidikan Islam dapat dikategorikan dalam 3 bentuk, pertama: sistem pendidikan tradisional yang senantiasa mempertahankan untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit. Kedua, sistem pendidikan yang mempertahankan keilmuan modern dan mengadopsi barat secara mentah-mentah. Ketiga, sistem pendidikan konvergensif yang memadukan kedua sistem yang di muka, selain memberikan pembelajaran agama juga memberikan disiplin Ilmu modern. Tampaknya wujud dari sistem yang disebut pertama dapat dilihat di pesantren. Kemudian bentuk sistem yag kedua dapat kita lihat pada sekolah umum, dan yang ketiga seperti terdapat pada pesantren modern atau sekolah islam yang terpadu.
Pada lini pendidikan al-Faruqi menilai bahwa universitas Islam di dunia mengalami kekuarangan tenaga dan staf kemudian ditinjau dari kurikulum pendidikan tidak satupun universitas Islam yang layak menyandang predikat sebagai perguruan tinggi Islam ataupun mengklaim bahwa kurikulum ilmu sosialnya sudah Islami.
Perlahan-lahan ilmu semakin jauh dari agama dan akalpun tidak dikontrol oleh wahyu sehingga ide dan aksi pun menjadi terpecah belah menjadi dua jalan yang bersebrangan, jalan rohaniyah dan jalan dunia. Puncaknya melahirkan ilmu-ilmu yang bebas nilai dan agama pun tidak mampu meminimalisir kondisi tersebut.
Polemik-polemik inilah tampaknya yang mengilhami al-Faruqi menggulirkan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ke tengah-tengah pemikir Islam. Dengan demikian, proses Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan kagiatan yang diawali dengan pemikiran filosofis. Lanadasan filosofis yang dijadikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Pengintegrasian ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai illahiyah. Berdasarkan pada sumber ajaran Islam yakni Alqur’an dan Sunnah, sehingga lahir ilmu modern yang Islami.

b. Prinsip dan tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut al-Faruqi yang menjadi prinsip-prinsip dasar dalam Islamisasi ilmu pengetahuan, ia meletakkan tauhid sebagai pondasi dengan pola lima kesatuan.
1.) Keesaan Allah Swt
2.) Kesatuan Makhluk
3.) Kesatuan kebenaran dan pengetahuan
4.) Kesatuan hidup
5.) Kesatuan umat manusia
Selanjutnya lebih rinci, dalam rumusan al-Faruqi tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah:
1.) penguasaan disiplin ilmu modern
2.) penguasaan hazanah Islamiyah
3.) membangun relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
4.) pencarian síntesis kreatif antara hazanah Islam dengan ilmu-ilmu modern
5.) pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan untuk mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.

c. Strategi Operasional Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Guna me-landing-kan proyek Islamisasi pengetahuan tersebut al-Faruqi menyusun 12 langkah strategis yang secara kronologis harus ditempuh, yaitu:
1.) penguasaan disiplin ilmu modern; penguasaan kategoris
2.) survei disiplin ilmu
3.) penguasaan hazanah Islam
4.) penguasaan hasanah ilmiyah Islami
5.) penentuan relevansi yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6.) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern
7.) penilaian kritis terhadap hazanah Islami
8.) survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9.) survei persoalan yang dihadapi umat manusia
10.) analisis kreatif dan sintesis
11.) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam
12.) penyebaran ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.

3. Implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan
a. Aspek Kelembagaan
Persoalan mendasar pada aspek kelembagaan ini menyangkut bentuk lembaga yang diinginkan atau diharapkan pasca islamisasi. Dalam diskripsi yang lebih tegas islamisasi dalam aspek kelembagaan adalah penyatuan dua sistem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (barat Sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatasnamakan Islam, dan menjadikan Islam sebagai simbol. Mengantisipasi ini perlu didirikannya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang baru sebagai tandingan. Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independent yang mengintegrasikan pengembangan ilmu agama dan umum, artinya apa pun nama lembaga tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antara sistem umum dan agama.

b. Aspek Kurikulum
Universitas harus memiliki kurikulum inti, karena kurikulum inilah yang menunjukkan essensi dari universitas. Dalam hal ini kurikulum yang telah dikembangkan di Barat tidak boleh diabaikan. Pengembangan kurikulum dala Islam dari kebenaran fundamental dan yang tidak dapat diubah dari prinsip tauhid (Aqur’an dan Sunnah). Meskipun dalam prosesnya kurikulum membolehkan adanya pengadopsian dari buku-buku Barat, namun juga memberikan prioritas utama sebagai sumber yakni Al-qur’an dan Sunnah.

c. Aspek Pendidik
Dalam hal ini para pendidik ditempatkan pada posisi yang selayaknya, yakni kompetensi dan profesional yang mereka miliki dihargai sebagai mana mestinya. Bagi al-Faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar dengan prinsip keikhlasan, pendidik harus diberikan honorium sesuai keahliannya. Disamping itu tidak selayaknya pendidik tamu (dari luar)dihargai lebih tinggi dibandigkan dengan pendidik milik sendiri.
Pendidik harus benar-benar Islam dan memiliki basic keislaman yang mantap. Di samping itu, staf-staf pengajar yang diiginkan dalam universitas Islam adalah staf pengajar yang shaleh serta memiliki visi keislaman. Memiliki kemampuan dalam menafsirkan berbagai teori berdasarkan pendekatan Islami secara meyakinkan serta mampu membimbigng mahasiswa secara tepat untuk menemukan pemecahan dari jawaban yang benar.
Selain kemampuan subtantif, pendidik juga dituntut memiliki kemampuan nonsubtantif, yakni multiskill didaktis. Kemampuan ini mencakup keterampilan dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaaan atau menejemen pendidikan, pengevaluasian dan lain sebagainya. Yang secara keseuruhan bertumpu pada unsur Tauhid.