AYAT-AYAT AL- QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN



A.    PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi setiap anak, dipengaruhi dan berpengaruh terhadap lingkungan. Lingkungan yang paling utama adalah keluarga, bagaimana orang tua terutama ibu membimbing anaknya agar siap untuk menghadapi kehidupan di zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Disinilah kecakapan hidup seorang anak harus di bimbing dan di arahkan agar tidak menyimpang dalam norma-norma agama yang sesuai dengan Al-Qur’an, agar mampu menghasilkan generasi-generasi muda yang beriman,kreatif, inovatif dan bertanggung jawab.
Pendidikan berkelanjutan dan pengembangan karakter menjadi tugas bagi keluarga, masyarakat,dan pemerintah. Mempesiapkan generasi muslim yang tangguh merupakan harapan Al-Qur’an. Setiap muslim, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, harus berupaya mewujudkan generasi yang berkualitas dalam semua aspek kehidupan manusia.

2.      Rumusan Masalah
masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas, makalah ini dapat kita rumuskan rumusan sebagai berikut:
a.         Bagaimana filsafat pendidikan dalam Al Qur’an ?
b.        Apa tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an ?
c.         Bagaimana pendidikan sebagai proses humanisasi ?
d.        Bagaiman sifat-sifat pendidikan yang baik ?
e.         Bagaimana sifat-sifat peserta didik yang baik ?



3.      Tujuan Penulisan
Dari paparan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini tujuanna adalah:
a.       Untuk menjelaskan filsafat pendidikan dalam Al Qur’an
b.      Untuk mengetahui tujuan pendidikan dalam Al Qur’an
c.       Untuk menjelaskan pendidikan sebagai proses humanisasi
d.      Untuk menjelaskan sifat-sifat pendidikan yang baik
e.       Untuk menjelaskan sifat-sifat peserta didik yang baik


















B.     AYAT-AYAT AL- QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN
1.      Filsafat Pendidikan Dalam Al Qur’an
Mungkin bagi para pembaca ada yang merasa bahwa  al-Qur’an bagi kaum muslimin  adalah kitab filsafat pendidikan yang paling besar. Sebagian besar dari kaum muslimin telah membaca al-Qur’an tetapi tidak memahami arti dan menghayati kandungannya. Padahal pada dasarnya al-qur’an adalah sebuah kitab yang mengandung khazanah kebudayaan dan pendidikan manusia yang maha besar, teristimewa Pendidikan Rohani.
Apabila ilmu filsafat membahas permulaan dan akhir dari segala sesuatu, dalam hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan antara manusia dengan penciptanya, maka filsafat Al-Qur’an telah mencakup itu semua. Universal Al-Qur’an meliputi segala yang ada : langit dan bumi, yang hidup dan yang mati, yang nampak dan yang tersembunyi,  yang awal dan yang akhkir, yang dahulu dan yang sekarang. Panduan Al-Qur’an adalah yang paling tepat dan yang paling harmonis. Al-Qur’an mengaitkan jiwa dan raga, iman dan akal, agama dan dunia, pemikiran dan perbuatan, kenikmatan dan perjuangan, manusia dan alam, serta manusia dengan penciptanya.
 Ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang pendidikan adalah:
a.       QS. An Nisa ayat 9


Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar
Dan hendaklah takut                                            فَلْسَخْشَ
Bila mereka meninggalkan                                   لَوْتَرَكُوْ
Anak-anaknya (yang dibelakangnya)                  خَلْفِهِمْ
Dalam keadaan                                                                ذُرِّيَّةً
Lemah                                                                  ضِعْفًا
Mereka khawatirkan (takutkan)                           خَافُوْا
Hendaklah mereka bertakwa                               فَلْيَتَّقُوْ
Dan mengucapkan                                               وَلْيَقُوْلُوْا
Perkataan                                                                         قَوْلاَ     
Yang benar                                                           سَدِيْدًا

Pembicaraan dalam ayat ini masih berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim. Juga, tentang perintah tehadap mereka agar memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik, dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku, dan sebagainya.
Dalam ayat ini yang diingatkan adalah kepada mereka yang berada di sekeliling para pemilik harta yang sedang menderita sakit. Mereka seringkali memberi aneka nasehat kepada pemilik harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewasiatkan kepada orang-orang tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya, sehingga akhirnya anak-anaknya sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9 diatas berpesan: Dan hendaklah orang-orang yang memberi aneka nasehat kepada pemilik harta agar membagikan hartanya kepada orang lain sehingga anak-anaknya sendiri terbengkalai, hendaklah mereka membanyangkan seandainya mereka akan meninggalkan di belakang mereka, yakni setelah kematian mereka, anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka atau penganiayaan atas mereka, yakni anak-anak yang lemah itu. Jika keadaan serupa mereka alami, apakah mereka akan menerima nasehat-nasehat seperti yang mereka berikan itu? Tentu saja tidak! Kerena itu, hendaklah mereka takut kepada Allah SWT., atau keadaan anak-anak mereka di masa depan. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah SWT. Dengan mengindahkan sekuat kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.
Kandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.[1]
Jadi, Allah SWT. memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.[2]

b.      QS. Al-Luqman 13



Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya untuk menasehatinya: “Wahai anakku janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah perbuatan dosa yang sangat besar
 Ada beberapa kitab tafsir yang memberi penafsiran al-Qur’an surat Luqman ayat 13. Diantaranya ialah tafsir fi zhilalil Qur’an Sayid Quthb menafsirkan bahwa pengarahan Luqman terhadap anaknya dengan nasihat tersebut mengandung hikmah kebijaksanaan. Nasihat tersebut tidak mengandung tuduhan, akan tetapi mengandung persoalan ketauhidan.[3]
Kebijaksanaan orang tua (ayah) terhadap anaknya menjadi sebuah keteladanan ketika seorang anak telah dewasa. Persoalan ketauhidan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang anak sebelum ia mengetahui hal perkara lainnya. Sebagai orang tua wajib menanamkan nilai ketauhidan (keesaan) Allah dengan benar kepada anaknya.
Dalam Tafsir an-Nuur Hasby Ash-Shiddieqy menafsirkan bahwa kedudukan (fungsi) ayah adalah memberi pelajaran kepada anak-anaknya dan menunjukan mereka kepada kebenaran dan menjauhkan mereka dari kebinasaan. Sebab seorang ayah bertanggung jawab dalam kehidupan anaknya.[4]
Metode Luqmanul Hakim dengan anaknya ini dinisbatkan oleh ulama ilmu jiwa modern dengan “metode pendidikan dengan nasehat”. Metode ini harus diiringi dengan metode “pendidikan dengan teladan”. Keteladanan yang baik merupakan satu-satunya sarana untuk mewujudkan tujuan nasehat yang dimaksud. Jika seandainya Luqman tidak mempunyai teladan yang baik, maka nasehat tidak akan membekas kepada anaknya dalam jangka waktu yang lama.[5]
Hendaknya orang tua menjadi teladan (uswah) dalam kehidupan anaknya. Hidupkan nilai-nilai agama pada diri, keluarga dan lingkungan tempat si anak dibesarkan. Jangan hanya menyuruh anak untuk shalat, sedangkan orangtuanya asik dengan pekerjaan. Bahkan tak jarang orang tua secara tidak sengaja telah mengajarkan kebohongan kepada anaknya. 
Pada ayat diatas, Luqman memberi pelajaran awal secara khusus kepada anaknya mengenai ketauhidan. Ketauhidan memiliki nilai lebih dan merupakan basic (dasar) dalam segala keilmuan. Semestinya pula pada pendidikan modern sekarang. Konsep tauhid mendapat perhatian besar oleh pelaku pendidikan. Nilai-nilai ketauhidan harus diajarkan sejak kecil dengan berbagai cara dan disesuaikan dengan tingkatan usia seorang anak. Jika hal ini dilaksanakan secara sistematis dan kontinyu, maka akan menjadi bekal paling berharga bagi seorang anak dalam kehidupan dunianya.
Panggilan Luqman kepada anaknya, “hai anakku”, mencirikan ungkapan yang indah dan tulus dari seorang ayah kepada si buah hatinya. Sebagaimana pula telah dianjurkan dalam syariat agama Islam yang menjadikan kewajiban bagi orang tua untuk memberi nama (panggilan) yang indah kepada anaknya. Karena nama juga sebagai do’a dan akan terus melekat pada diri seorang manusia.
Luqman menasehati anaknya agar tidak mempersekutukan Allah, karena hal tersebut merupakan kezaliman (dosa) yang besar. Mempersekutukan Allah disini memiliki artian yang sangat sensitif. Terkadang tanpa disadari, kemusyrikan telah ada ditengah-tengah kita. Konon lagi pada era teknologi yang semakin canggih. Esensi dari kemusyrikan kian gencar merongrong umat Islam.


2.      Tujuan Pendidikan Dalam Al-Qur’an
Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah tujuan mendidik dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama keberadaan mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh potensi kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban, kelak harus dipertanggung-jawabkan. tujuan pendidikan dalam al Qur’an dikemukakan Asy syaibani yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah, “adanya perubahan yang positif yang ingin dicapai melalui sebuah proses atau upaya-upaya pendidikan, baik perubahan itu terjadi pada aspek tingkah laku, kehidupan pribadi dan masyarakat, dan lingkungan luas dimana pribadi itu hidup.”[6]
Tujuan dari pendidikan menurut alqur’an yaitu:
a.       mendidik jiwa tauhid agar tumbuh rasa kehambaan yang tinggai terhadap allah. Ini dibuat dengan membawa manusia berfikir tentang kebesaran allah, kuasa allah, kehebatan allah, kebaikan dan rahmat allah serta nikmatnya.
b.      mendidik hati agar rasa rindu dengan syurga allah, rahmat dan kemampuan allah, bantuan allah dll. Semua itu di lakukan dengan menyebutkan khabar-khabar gembira tentang perkara-perkara tersebut.
c.       mendidik iman dan taqwa dihati
d.      mendidik manusia agar melakukan amal saleh dan berakhlak mulia. Untuk itu al-Qur’an banyak menceritakan sejarah hidup para nabi, rasul dan orang-orang saleh yang patut dijadikan panduan hidup manusia.
e.       mendidik manusia agar menghindari sift-sifat jahat dan agar selamat dari api neraka.
f.       mendidik manusia agar memiliki sikap hidup yang khusus sebagai seorang islam, agar selamat dunia dan akhirat.[7]

C.    PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES HUMANISASI
Dehumanisasi dan Humanisasi:
Humansasi dan dehumanisasi merupakan istilah yang bermakna sebagai lawan kata. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian humanisasi dan dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana.
Ketika ada praktik pendidikan yang memberlakukan anak manusia sebagai burung beo, dimasukkan ke dalam kandang atau tempat yang berjeruji, dengan proses pelatihan agar anak manusia itu dapat menirukan atau dapat melaksanakan sesuai dengan instruksi tertentu, maka praktik pendidikan ini dapat dikategorikan sebagai proses dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya dengan praktik pendidikan yang memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang dapat diperintah seenaknya seperti robot, maka praktik pendidikan seperti itu sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh proses dehumanisasi pendidikan. Jika proses pendidikan dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan indovidual anak, baik perbedaan dari aspek fisik maupun mentalnya, maka proses pendidikan seperti itu dapat dikategorikan sebagai dehumanisasi pendidikan.
Sedangkan  pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang berfokus pada peserta-didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik mereka, berusaha mengembangkan potensi masing-masing dari mereka secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup untuk dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.
Pendidikan diyakini sebagai kunci pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia. Namun, pendidikan kita mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Sebagai contoh Tawuran antar pelajar terutama dikota kota besar, aborsi, penyalahgunaan pornografi, pelanggaran etika dan norma-norma sosial lainnya yang kini mewabah di kalangan terpelajar menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi dehumanisasi pendidikan pada hampir setiap jenjang pendidikan.
Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus yang lalu telah muncul ke permukaan. Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan.
Kritik dan keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi. Setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi dilihat sebagai anak (lebih-lebih di pendidikan dasar), tetapi sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang hanya tahu melaksanakan perintah ”tuan”nya.[8]

D.    SIFAT PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK YANG BAIK
Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari peran pendidik dan peserta didik itu sendiri. Berhasil atau gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh kedua komponen tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan pendidik dalam menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik dan tentu saja pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin.
1.      Sifat Pendidik
Menurut Al Ghazali memaparkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, yaitu:
a.    Kasih sayang, seperti kepada anak sendiri;
b.    Tidak mengharapkan materi, tetapi mengharap ridha Allah dan taqarrub kepada-Nya;
c.    Tidak berhenti menasihati murid, sekalipun hak yang kecil;
d.   Kontrol sosial bagi murid dengan cara lemah lembut;
e.    Tidak merendahkan ilmu dan orangnya;
f.     Memberikan materi sesuai dengan kemampuan akal peserta didik;
g.    Memotivasi peserta didik yang berkemampuan rendah; dan
h.    Berindak sesuai dengan ilmunya.[9]
Sedangkan menurut Sedangkan menurut al-Abrasyi pendidik harus memiliki sifat-sifat:
a.       Abawiyah (kebapakan);
b.      Komunikatif;
c.       Memberi materi sesuai dengan kemampuan akal peserta didik;
d.      Mempunyai rasa tanggung jawab terhadap nasyarakat;
e.       Suri teladan dalam keadilan, kesetiaan dan kesempurnaan;
f.       Ikhlas;
g.      berwawasan luas;
h.      Selalu mengkaji ilmu;
i.        Mengajar dan mengelola kelas dengan baik;
j.        Memperbanyak ilmu dengan ruh ilmu-ilmu baru;
k.      Komitmen tinggi;
l.        Sehat; dan
m.    berkepribadian kuat[10]

Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
2.      Sifat Peserta didik
sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki oleh peserta didik menurut Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar meliputi sepuluh hal.
a.       Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).
b.      Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
c.       Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
d.      Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.
e.       Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
f.       Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S.a;l-Fath/48:19).
g.      Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h.      Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i.        Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.        Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.[11]

Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.

E.     KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas maka dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.      Kandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9, berpesan agar umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatangKandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 diatas, berpesan agar umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa mendatang.
2.      Beberapa kitab tafsir yang memberi penafsiran al-Qur’an surat Luqman ayat 13. Diantaranya ialah tafsir fi zhilalil Qur’an Sayid Quthb menafsirkan bahwa pengarahan Luqman terhadap anaknya dengan nasihat tersebut mengandung hikmah kebijaksanaan. Nasihat tersebut tidak mengandung tuduhan, akan tetapi mengandung persoalan ketauhidan. Pada ayat ini, Luqman memberi pelajaran awal secara khusus kepada anaknya mengenai ketauhidan. Ketauhidan memiliki nilai lebih dan merupakan basic (dasar) dalam segala keilmuan. Semestinya pula pada pendidikan modern sekarang. Konsep tauhid mendapat perhatian besar oleh pelaku pendidikan. Nilai-nilai ketauhidan harus diajarkan sejak kecil dengan berbagai cara dan disesuaikan dengan tingkatan usia seorang anak. Jika hal ini dilaksanakan secara sistematis dan kontinyu, maka akan menjadi bekal paling berharga bagi seorang anak dalam kehidupan dunianya.
3.      Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah tujuan mendidik dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama keberadaan mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh potensi kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban, kelak harus dipertanggung-jawabkan.
4.      Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia.
5.      Pendidik menurut Az-Zarnuzi ialah orang yang berilmu atau alim yang jamaknya adalah ulama’. Dengan demikian pendidik itu identik dengan ulama’. Ahli-ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi pekerti yang harus dimiliki oleh pendidik atau guru, pendidik haruslah menjadi pembina akhlak, maka semestinya pendidik lebih dahulu berakhlak mulia.
6.      Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.






















DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi,Ruh al-Tarbiyať, hlm.207-225, dan Al-Abrasyi,Al-Tarbiyať al-Islamiyať,
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum
Ash-Shidieqy, Muhammad Hasbi, Tafsir An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000
at Tuumiy asy Syaibani, Umar Muhammad, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah, Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan,
Bustami A. Gani,dkk,Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II,(Jakarta: Departemen Agama RI,1991).
http://aauniethea.blogspot.com/2011/11/tujuan-pendidikan-menurut-al-quran.html
http://anan-nur.blogspot.com/2011/06/kembalikan-pendidikan-sebagai-proses.html
http://prolink2all.blogspot.com/2011/07/peserta-didik-dalam-pendidikan-islam.html
Manshur, Syaikh Hasan, Metode Islam Dalam Mendidik Remaja, terj. Abu Fahmi Huaidi, Jakarta: Mustaqiim, 2002
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al – Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al – Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Quthb, Sayid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 9, terj. As’ad Yasin, dkk, Jakarta:Gema Insani Press, 2004



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al – Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al – Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm. 355
[2] Bustami A. Gani,dkk,Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II,(Jakarta: Departemen Agama RI,1991)hlm.125
[3] Sayid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan al-Qur’an, jilid 9, terj. As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hal. 164
[4] Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 3207
[5] Syaikh Hasan Manshur, Metode Islam Dalam Mendidik Remaja, terj. Abu Fahmi Huaidi, Jakarta: Mustaqiim, 2002, hal. 158
[6] Umar Muhammad at Tuumiy asy Syaibani, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah, Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan, h 282.
[7] http://aauniethea.blogspot.com/2011/11/tujuan-pendidikan-menurut-al-quran.html
[8] http://anan-nur.blogspot.com/2011/06/kembalikan-pendidikan-sebagai-proses.html
[9] Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum, hlm. 55-59
[10] Al-Abrasyi,Ruh al-Tarbiyať, hlm.207-225, dan Al-Abrasyi,Al-Tarbiyať al-Islamiyať, hlm. 303
[11] http://prolink2all.blogspot.com/2011/07/peserta-didik-dalam-pendidikan-islam.html