Kitab Kuning



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab buah pemikiran para ulama salaf. Boleh dibilang, tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tak absah disebut pesantren. Begitulah fakta yang mengemuka di lapangan. Abdurrahman Wahid dalam konteks ini meneguhkan dengan menyatakan, kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren.[1]
Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi nomor wahid dan merupakan ciri khas pembelajaran di pesantren. Kitab kuning tidak hanya menjadi pusat orientasi, tetapi telah mendominasi studi keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam.
Saking lengketnya, dengan kitab kuning, kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan menjawab hampir seluruh persoalan yang muncul dan berkembang di masyarakat. Bahkan jika kita tengok halaqah bahtsul masa`il para santri di pesantren, maka seakan-seakan seluruh persoalan hidup ini sudah termaktub dan telah dijawab oleh kitab kuning. Tak hanya persoalan masa lalu, isu-isu terkini pun pembahasannya sudah ada, atau minimal diasumsikan ada.





B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, makalah ini dapat kita rumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Kitab Kuning?
2.      Bagaimana Sejarah Penyebutan Kitab Kuning?
3.      Bagaimana Peran Kitab Kuning Dalam Dunia Pesantren?

C.    Tujuan Penulisan
Dari paparan rumusan makalah diatas, maka penulisan makalah ini tujuannya adalah:
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Kitab Kuning.
2.      Untuk Menjelaskan Sejarah Penyebutan Kitab Kuning.
3.      Untuk Menjelaskan Peran Kitab Kuning Dalam Dunia Pesantren.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kiab Kuning.
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.[2]
Kitab kuning, dalam pendidikan agama islam, merujuk kepada kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah) yang diajarkan pada Pondok-pondok Pesantren, mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (`ilmu nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, `ulumul qur'aan, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah). Dikenal juga dengan kitab gundul karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya. Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu belajar yang relatif lama.

B.     Sejarah Penyebutan Kitab Kuning
Istilah kitab kuning memang akrab dengan dunia pesantren, terutama pesatren yang  salaf, karena memang di sana dibahas dan dikaji kitab kuning.  Meskipun definisi tentang kitab kuning itu sendiri belum baku, dan umumnya  dikonotasikan dengan kitab-kitab klasik yang disusun oleh para ulama Timur tengah pada abad pertengahan,  dan kebanyakan berupa kitab fiqh, aqaid, tafsir, dan tasawuf.  Sementara kitab yang membahas tentang persoalan filsafat, politik secara khusus, sangat jarang atau kalau tidak boleh dikatakan sebagai tidak ada sama sekali.   Namun demikian secara umum kitab kuning itu sendiri merupakan kitab kitab yang ditulis sebelum abad ke 17 dan ditulis dengan gaya tertentu.  Sedangkan kenapa dikatakan sebagai kitab kuning itu lebih disebabkan oleh kondisi riil kitab-kitab tersbeut yang untuk pertamakalinya dicetak secara sederhana dan dengan memakai kertas yang berwarna kuning.[3]
Kebanyakan naskah para ulama pasca Khulafaa al-Rasyidin ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab tanpa harakat, tidak seperti Al-Qur'an pada umumnya. Dikarenakan tujuan pemberian harakat pada Al-Quran lebih kepada bantuan bagi orang-orang non arab dan penyeragaman. Sedangkan bagi orang yang menguasai tata bahasa bahasa Arab maka dapat dengan mudah membaca kalimat tanpa harakat tersebut. Inilah yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai Kitab Gundul untuk membedakannya dengan kitab bertulisan dengan harakat[4].
Sedangkan mengenai penyebutan istilah sebagai Kitab Kuning, dikarenakan memang kitab-kitab tersebut kertasnya berwarna kuning, hal ini disebabkan warna kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca dalam keadaan yang redup. Ketika penerangan masih terbatas di masa lampau, utamanya di desa-desa, para santri terbiasa belajar di malam hari dengan pencahayaan seadanya. Meski penerangan kini telah mudah, kitab-kitab ini sebagian tetap diproduksi menggunakan kertas warna kuning mengikuti tradisi, walaupun ada juga yang telah dicetak pada kertas berwarna putih (HVS). Sebab lainnya, adalah karena umur kertas yang telah kuno yang turut membuat kertas semakin lama akan menguning dan menjadi lebih gelap secara alami, juga disebutkan ketika dahulu lilin/lampu belum bercahaya putih dan masih kuning maka kertas berwarna putih atau kuning sama saja akan tetap terlihat kuning, sehingga ketika kertas kuning dahulu lebih ekonomis maka penggunaan kertas kuning dapat meringankan ongkos produksi secara masal.
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matn (teks asal) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara sharh, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid scperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kilab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara lerpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai[5]
Kemungkinan lain penyebutan istilah kitab kuning tersebut dikhususkan bagi kitab-kitab klasik atau kitab yang beraliran klasik, meskipun ditulis belakangan dan mengikuti madzhab Syafii,  sehingga kalau ini yang menjadi pengertiannya, beberapa kitab kuno yang mengikuti madzhab  Hanafi misalnya, tentu tidak akan dianggap sebagai kitab kuning.  Dan begitu juga sebaliknya meskipun sebuah kitab itu ditulis  belangan, namun beraliran klasik dan menganut madzhab Syafii, maka dapat digolongkan kedalam kitab kuning.
Kini di era modern Kitab-kitab tersebut telah dialih berkaskan menjadi fail buku elektronik, misalnya chm atau pdf. Ada juga software komputer dalam penggunaan kitab-kitab ini yaitu Maktabah Syamila (Shameela) yang juga mulai populer digunakan dikalangan para santri pondok pesantren modern.

C.    Peran Kitab Kuning Dalam Dunia Pesantren
Pada umumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut ‘kaca mata’ umum, modern. Di samping faktor kepemimpinan Kyai, Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub kultur tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara keberagamaan.
Kitab Kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.
Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Dan bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan mengenai hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah semestinya Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi referensi mereka?
Dari kalangan pesantren sendiri sejauh ini, sebetulnya belum ada pertanggung jawaban filosofis (argumentatif) yang utuh, dalam pengertian modern, mengenai penempatan Kitab Kuning sebagai referensi nilai-nilai universal mereka,
Namun kita dapat melihat ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren. Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Al Qur’an dan al Hadits.[6]
Menjadikan Kitab Kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu – tetapi pada hakekatnya justru mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa al Qur’an dan al Hadits tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang paling aman untuk memahami kedua sumber itu – agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri – adalah dengan mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab kandungan Kitab Kuning merupakan penjelasan dan ‘pengejawantahan’ yang siap pakai, dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.
Pandangan kedua – yang mulai muncul dalam tiga dasawarsa terakhir – adalah bahwa Kitab Kuning penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al Qur’an dan al Hadits. Kitab Kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam.
Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan Kitab Kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu adalah penanganan Kitab Kuning dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al kutub al ashriyyah. Hanya dengan penguasaan Kitab Kuning seperti itulah, kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas maka kita dapat mengambil kesimpulan:
1.      Kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
2.      Penyebutan istilah sebagai Kitab Kuning, dikarenakan memang kitab-kitab tersebut kertasnya berwarna kuning, hal ini disebabkan warna kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca dalam keadaan yang redup. Ketika penerangan masih terbatas di masa lampau, utamanya di desa-desa, para santri terbiasa belajar di malam hari dengan pencahayaan seadanya.
Kemungkinan lain penyebutan istilah kitab kuning tersebut dikhususkan bagi kitab-kitab klasik atau kitab yang beraliran klasik, meskipun ditulis belakangan dan mengikuti madzhab Syafii,  sehingga kalau ini yang menjadi pengertiannya, beberapa kitab kuno yang mengikuti madzhab  Hanafi misalnya, tentu tidak akan dianggap sebagai kitab kuning.  Dan begitu juga sebaliknya meskipun sebuah kitab itu ditulis  belangan, namun beraliran klasik dan menganut madzhab Syafii, maka dapat digolongkan kedalam kitab kuning.
3.      Peran kitab kuning dalam pesantren yaitu sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.


DAFTAR PUSTAKA

Basyuni, Muhammad M. Revitalisasi Spirit pesantren; Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesanten Dirjen Pendis Depag RI, 2006
Masudi, Masdar F. Pandangan Hidup Ulama Indonesia dalam Literatur Kitab Kuning, makalah pada Seminar Nasional tentang Pandangan dan Sikap Hidup Ulama Indonesia, Jakarta: LIPI, 1998.
Wahid, Abdurrahman. Nilai-Nilai Kaum Santri, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_kuning, diambil pada kamis 13 november 2014 pukul 6:24










[1] Abdurrahman Wahid, Nilai-Nilai Kaum Santri, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
[2]  Masdar F. Masudi, Pandangan Hidup Ulama Indonesia dalam Literatur Kitab Kuning, makalah pada Seminar Nasional tentang Pandangan dan Sikap Hidup Ulama Indonesia, Jakarta: LIPI, 1998, hal. 1
[3]  Ibid
[5] Basyuni, Muhammad M. Revitalisasi Spirit pesantren; Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesanten Dirjen Pendis Depag RI, 2006