KORELASI MASAIL FIQIH DENGAN USHUL FIQIH DAN FIQIH



BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani kehidupan dunia ini, tidaklah semua yang kita inginkan dan harapkan dapat tercapai. Ketika terjadi ketimpangan atau ketidak sesuaian antara hal yang kita inginkan dan fakta yang terjadi maka akan menimbulkan masalah
Begitu juga dalam menjalankan syri’at Islam, masalah juga dapat muncul ketika terjadi ketimpangan antara teori dan kenyataan mengenai hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah.
Sebuah hukum suatu masalah yang timbul, tidak dapat muncul begitu saja tanpa adanya bahsul masail. Dan hukum tersebut muncul melalui beberapa tahapan. Sehingga jelas asal-usil dari mana datangnya hukum tersebut. Sehingga hubungan antara permasalahan yang timbul, asal-usul hukum suatu permasalahan sampai dapat ditentukan hukumnya adalah suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan
Dalam menyelesaikan masalah tersebut, tentu harus ada jalan penyelesaian. Sehingga dihasilkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu, kami akan membahas tentang korelasi masail fiqih dengan ushul fiqih dan fiqih










BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Masailul Fiqh

Masail dalam bahasa arab merupakan jama’ taksir dari masalah yang artinya perkara (persoalan). Sedangkan, masalah merupakan ketimpangan antara teori dan kenyataan. Massalh timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun mebingungan kita terhadap suatu fenomena, serta adanya kemenduaan arti (ambiguity).
Fiqih secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum Islam. Secara terminology berarti mengetahui hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Jadi, masailul fiqh yaitu ketimpangan antara teori dan kenyatan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalilnya secara terperinci atau tidak.
Dengan lahirnya masil fiqih atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah. Untuk itu, tujuan mempelajari masaul fiqih secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui jawaban dan mengetahui proses penyelesaian masalah
Dasar-dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kaidah penting:
1.      Menghindari sifat taqlid dan fanatisme
Upaya menghindari diri dari fanatisme madzhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat ulama’ klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Tsabitatau pendapat ulama’ modern, kecuali ia adalah seorang yang bodoh dan melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan dengan muttabi’.
2.      Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan
Kaedah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath’i atau kaidah syari’ah yang bersifat pasti.
3.      Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasive aktif serta komunikatif
Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang diinginkannya dan menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat di mana persoalan itu muncul.
4.      Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis
Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama’ bersandar kepada al-nash sesuai bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut di luar teks itu. Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih berani menginterpretasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman dan lingkungan. Sementara kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama’ salaf yang tidak diragukan kehandalannyadalam masalah ini.
5.      Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi
Bahasa hukum relative tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan diperlukan pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian ini merupakan langkah elastis guna menjangkau kemungkinan lain diluar jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya, ketentuan hukum potong tangan terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khattab pernah tidak memberlakukan hukum “had” atau potong tangan terhadap pencuri barang tuannya, karena sang tuan pelit, maka ia mencuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan

B.     Pengertian Ushulul Fiqih

Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti cukup luas, yaitu ushul dan fiqih. Kata ushul merupakan jama’ dari ashl yang menurut bahasa, beraarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Sedangkan fiqh berarti hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyah, yang telah diistinbatkan oleh para mujtahid dari dalil-dalil syar’i yang terperinci.
Sebagai salah satu bidang ilmu, ada dua definisi ushul fiqih yang dikemukakan Ulama’ Syafi’iyah dan jumhur Ulama’. Menurut Ulama’ Syafi’iyah, ushulfiqih adalah mengetahui dalil-dalil fiqih secara global dan cara mengemukakannya, serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya (Mujtahid).
Definisi yang dikemukakan oleh ulama’ Syafi’iyah menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama’ Ushul Fiqih adalah dalil-dalil- yang bersifat ijmali (global)seperti kehujahan ijma’ dan qiyas.
Sedangkan ushul fiqih menurut jumhur ulama’ ushul fiqih yang terdiri atas ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yaitu mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah melalui dalil-dalilnya yang rinci.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ushul fiqih adalah kumpulan kaidah yang dipakai oleh para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum-hukum syar’iyah  dari dalil-dalilnya yang tafsili (rinci).
Tujuan ushul fiqih ialah meletakkan kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf.
Menurut Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ahli fiqih dari Syiria) mengatakan bahwa yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih adalah sebagai berikut:
1.      Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum  syara’, baik yang disepakati (seperti kehujahan al-Qur’an dan Sunnah), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan dan maslahah al-mursalah).
2.      Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara dhahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil), tarikh (penguatan salah satu dari dalil yang bertentangan).
3.      Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya.
4.      Pembahasan tenteng hukum-hukum syara’
5.      Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil.

C.    Pengertian Fiqih

Fiqih adalah ilmu yang mengatur kehidupan individu insan Muslim, masyarakat Muslim, Umat Islam, dan Negara Islam dengan hukum-hukum syari’at yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan dirinya dengan Allah SWT, sebagaimana dijelaskan oleh fiqih ibadah.[1]
Fiqih bukan lagi pemahaman terhadap hukum syara’ dari dalilnya, tetapi telah menjadi pengetahuan tentang pemahaman mujtahid, terhadap dalil syara’ yang telah mereka ramu menjadi kitab fiqih. Pengajaran fiqih nerarti pengajaran terhadap kitab fiqih, seqndainya masih ada kegiatan terhadap fiqih, maka yang demikian tidak lagi beralih dari apa yang pernah dihasilkan oleh mujtahid terdahulu.
            Fiqih digunakan untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafsili).
Sementara yang dimaksud dengan hukum-hukum Islam itu meliputi:
·         Wajib, suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan, maka orang tersebut mendapat siksa
·         Sunnah; suatu perbuatan yang apabila dikerjakan maka orang tersebut mendapat pahala, apabila perintah tersebut tidak dikerjakan maka ia tidak mendapat siksa
·         Mubah; suatu perbuatan yang apabila dikerjakan ataupun ditinggalkan maka ia tidak akan mendapat pahala maupaun dosa
·         Haram; suatu perbuatan yang apabila dikerjakan maka orang tersebut mendapat siksa
·         Makruh; suatu perbuatan yang lebih baik ditinggalkan dari pada dikerjakan
·         Shahih; suatu perbuatan yang sesuai dengan hukum yang berlaku
·         Bathil; suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum Islam.


D.    Korelasi Masail Fiqih dengan Ushul Fiqih dan Fiqih

Masail fiqih adalah persoalan-persoalan yang muncul pada konteks terkini sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.
Ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan orang mukallaf (dewasa) dalam pandangan hukum syari’ah agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunnahkan, diharamkan, dimakruhkan, dan diperbolehkan serta mana yang batal (tidak sah). Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari fiqh ibadat, fiqih munakahat, fiqih muamalat, dan fiqih jinayat.
Ushul fiqih merupakan ilmu tentang kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci. Pokok bahasan dalam ushul fiqih adalah dalil-dalil syara’ secara garis besar yang di dalamnya terkandung hukum-hukum secara garis besar pula.
Perbedaan antara ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih adalah: jika ilmu fiqih membicarakan tentang dalil dan hukum yang bersifat rinci maka ilmu ushul fiqih membicarakan tentang dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar yang berfungsi sebagai metodologi dalam memahami dalil-dalil rinci itu.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Masailul fiqh merupakan ketimpangan antara teori dan kenyatan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalilnya secara terperinci atau tidak.
Ushul fiqih adalah kumpulan kaidah yang dipakai oleh para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum-hukum syar’iyah  dari dalil-dalilnya yang tafsili (rinci).
Fiqih adalah ilmu yang mengatur kehidupan individu insan Muslim, masyarakat Muslim, Umat Islam, dan Negara Islam dengan hukum-hukum syari’at yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan dirinya dengan Allah SWT.
Sehingga jelaslah hubungan antara ketiganya. Tanpa adanya permasalahan, maka hukum baru pun tidak akan pernah dihasilkan. Begitu juga tanpa adanya kaidah-kaidah yang digunakan dalam pembahasan masalah, maka tidak akan menghasilkan satu hukum pun.














DAFTAR PUSTAKA

Az-Zibari, Amir Said. Bagaimana Menjadi Ahli Fiqih? 2001. Jakarta: Pustaka Azzam
Umam, Chaerul. Ushul Fiqih 1. 1998. Bandung: CV. Pustaka Setia
http://www.syakhsiyah’s blog masail fiqhiyah.com


[1] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Praktis, (Jakarta: Gema Insani), 2002, hlm.7