SKRIPSI BAB II RELEVANSI PEMIKIRAN ABDULLAH ULWAN



BAB II
LANDASAN TEORI

A. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
1.   Pengertian Pendidikan Islam
Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Islam kita mengacu pada beberapa pendapat tokoh pendidikan, yaitu:
1)      Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam.1[1]       
2)      Menurut Muhaimin dalam konteks historik sosiologik, Pendidikan Islam pernah dimaknai sebagai pendidikan/pengajaran keagamaan/keislaman (Al-Tarbiyah Al-Diniyah, Ta’lim Ad-Din, Al-Ta’lim Ad-Dini, dan Ta’lim Al-Islami) dalam rangka Tarbiyah Al-Muslimin (mendidik orang-orang Islam) untuk melengkapi atau membedakannya dengan pendidikan sekuler (non keagamaan/non keislaman).[2]
3)      Al-Attas sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan yang secara berangsur-angsur            ditanamkan kedalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat didalam tatanan wujud tersebut. Definisi ini berbau filsafat. Intinya adalah ia menghendaki bahwa pendidikan menurut Islam adalah usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini. Definisi ini selain panjang, abstrak sulit ditangkap dan dioperasionalkan.[3]
4)      Dr. Zakiah Darajat, Pendidikan Islam itu adalah pembentukan kepribadian muslim. Yang bercirikan perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.[4]
5)      Drs. H. Sama’un Bakry  merumuskan, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berusaha mentransformasikan pengetahuan dan nilai ajaran-ajaran Islam dari satu generasi ke generasi selanjutnya.[5]
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha/bimbingan yang secara sadar dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik untuk mengarahkan perkembangan jasmani dan rohaninya menuju kepribadian yang sempurna, dalam hal ini adalah menurut ukuran-ukuran Islam.


2.   Sumber Pendidikan Islam
Dalam pembinaan dan pendidikan kepribadian maka perlu adanya dasar/landasan kerja untuk memberikan arah dari semua kegiatan. Dengan adanya dasar maka berfungsi sebagai sumber semua peraturan yang diciptakan sebagai pegangan langkah yang menentukan arah tersebut.
Sumber pokok Ilmu Pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Al-Hadis dan untuk sumber tambahannya yaitu Ra’yu (hasil pikiran manusia).[6]
a.   Al-Qur’an
Dasar pelaksanaan pendidikan Islam yang pertama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushaf, terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6666 ayat. Berisi petunjuk-petunjuk sebagai pedoman hidup manusia dalam hidup di dunia dan bekal di akhirat. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pendidikan Islam karena mengandung konsep yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan.[7]
Secara garis besar, ajaran dalam al-Qur’an terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan dan amal.[8] Keimanan merupakan keyakinan yang ada dalam hati manusia. Sedangkan amal merupakan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesame dan lingkungan, serta dapat dikatakan bahwa amal merupakan aktualisasi dari iman.
b.   al-Hadis
Hadis menurut para ulama adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, baik ucapan, perbuatan dan taqrir, maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Hadis mempunyai peranan penting setelah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.8[9]
c.   Ra’yu
Ijtihad sebagai dasar/sumber pendidikan Islam adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh ulama Islam dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan sunnah Nabi yang berhubungan dengan pengajaran dan dalil tentang dasar pendidikan Islam, sistem dan arah pendidikan. Hal ini dilakukan karena pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.[10]


3.   Tujuan Pendidikan Islam
Pekerjaan mendidik itu adalah suatu pekerjaan yang mempunyai tujuan[11], maka dalam skripsi ini akan dibahas tentang tujuan pendidikan Islam.
a.   Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam sistem Pendidikan Nasional UUSPN No. 20 Tahun 2003 dikemukakan, bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[12]
Dengan kata lain tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengakomodasikan berbagai tuntutan peran yang multidimensional. Secara umum pendidikan harus mampu menghasilkan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat yang sehat dan cerdas dengan:
a)      Kepribadian kuat, religius dan menjunjung tinggi budaya luhur bangsa.
b)      Kesadaran demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c)      Kesadaran moral hukum yang tinggi.
d)     Kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Jadi, dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan secara umum adalah sebagai berikut:
1)      Untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
2)      Untuk membentuk warga Negara yang cakap, demokratis dan mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
b.   Hakekat dan Tujuan Pendidikan Islam
Hakekat Pendidikan Islam konsep dasarnya dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari al-Qur’an dan al-Hadis. Konsep operasionalnya dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari proses pembudayaan, pewarisan dan pengembangan ajaran agama dan budaya serta peradaban Islam dari generasi ke generasi. Sedangkan secara praktis dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari proses pembinaan dan pengembangan pendidikan pribadi muslim pada setiap generasi dalam sejarah umat Islam.[13]
Mengenai tujuan Pendidikan Islam, semua kandungan isi dan proses pendidikan Islam bermaksud mewujudkan tujuan pendidikan yang antara lain sebagaimana direkomendasikan konferensi pendidikan Islam di Jeddah (1977) yaitu untuk menciptakan kepribadian muslim secara total dan memenuhi pertumbuhan dalam segala aspeknya sesuai dengan yang di idam-idamkan Islam. Ini mempunyai arti sebagai realisasi taqwa kepada Allah SWT.[14]
Para perumus kebijakan pendidikan senantiasa mencantumkan kata taqwa sejajar dengan berilmu pengetahuan dan berketrampilan serta nilai-nilai temporal lingkungan lainnya. Taqwa dalam kerangka demikian bukan merupakan konsep kunci, tetapi hanya sebagai pelengkap tujuan lainnya.[15]
Menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud tujuan pendidikan Islam adalah:
a.       Kesempurnaan manusia yang berujung taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
b.      Kesempurnaan manusia yang berujung kepada kebahagiaan dunia dan kesentosaan akhirat.[16]
Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:
a.       Untuk menciptakan seseorang yang berkepribadian muslim yang beribadah kepada Allah dengan tanpa pamrih dan hanya mengharap ridlo dari Allah.
b.      Untuk menciptakan seseorang yang mampu mengamalkan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari sebagai efek dari ajaran agama Islam yang diyakininya.

B.  Materi dan Metode Pendidikan Islam
1.   Materi Pendidikan Islam
Pendidikan Agama Islam di Indonesia meliputi: Al-Qur’an dan Hadis, Aqidah dan Akhlaq, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam. Dalam penelitian ini yang dibahas adalah materi tentang pendidikan Aqidah Akhlaq.
Pendidikan Aqidah Akhlaq adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah SWT dan merealisasikannya dalam perilaku akhlaq mulia dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan kebiasaan.
Pendidikan Aqidah Akhlaq bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik yang diwujudkan dalam akhlaqnya yang terpuji, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayata, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang aqidah dan akhlaq Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dan meningkat kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT, serta berakhlaq mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Aqidah Akhlaq meliputi:
a.       Aspek Keimanan
Aspek keimanan meliputi: Iman kepada Allah dengan alasan pembuktian yang sederhana, meyakini rukun iman kepada  malaikat, meyakini rukun iman kepada kitab-kitab Allah serta memahami dan meyakini rukun iman kepada rosul-rosul Allah.
b.      Aspek Akhlaq
Aspek akhlaq meliputi: akhlaq dirumah, disekolah, diperjalanan, akhlaq dalam keadaan bersin, menguap dan meludah, akhlaq dalam bergaul dengan orang yang lebih lemah, akhlaq dalam membantu dan menerima tamu, perilaku akhlaq pribadi/karakter pribadi yang terpuji, akhlaq dalam bertetangga, akhlaq dalam alam sekitar, akhlaq dalam beribadah, berbicara, melafalkan dan membiasakan kalimat tayyibah, akhlaq terhadap orang sakit, syukur nikmat.
c.       Aspek Kisah Keteladanan
Aspek kisah keteladanan meliputi: keteladanan Nabi Muhammad, Nabi Musa, Nabi Yusuf, Masyithah, Ashabul Kahfi dan I’tibar kisah raja namruz dan fir’aun.[17]

2.   Metode Pembelajaran Pendidikan Islam
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Metode mengajar adalah caa yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran kepada pelajar. Karena penyampaian itu berlangsung dalam interaksi edukatif. Metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh guru dalam mengadakan hubungan dengan pelajar pada saat berlangsungnya pengajaran[18]. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir. Seseorang tidak akan dapat melaksanakan tugasnya apabila tidak menguasai satupun metode mengajar yang telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan pendidikan.[19]
Jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlibat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Inilah pengertian-pengertian metode yang dapat dipahami dari berbagai pendapat yang dibuat para ahli.[20]
Dalam bahasa arab kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata Al-Thariqah, Manhaj, dan Al-Wasilah. Al-Thariqah berarti jalan, Manhaj berarti sistem, dan Al-Wasilah berarti perantara atau mediator. Dengan demikian kata arab yang dekat dengan arti metode adalah Al-Thariqah. Kata-kata serupa ini banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad Al-Baqy sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata; di dalam Al-Qur’an kata Al-Thariqah diulang sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan obyeknya yang dituju oleh Al-Thariqah seperti neraka. Sehingga menjadi jalan menuju neraka.[21] Seperti dalam surat An-Nisa’: 169 yang berbunyi:
إِلا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (النساء: ١٦٩)
(Kecuali jalan ke neraka jahannam, mereka kekal didalamnya selama-lamanya dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.)[22]
Terkadang juga dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti Al-Thariqah Al-Mustaqimah yang diartikan jalan yang lurus seperti dalam surat Al-Ahqaf ayat 30 yang berbunyi:
قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ (الاحقاف :٣٠)
(Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus).[23]
Metode mengajar yang digunakan guru dalam setiap kali pertemuan pembelajaran bukanlah asal pakai, tetapi setelah melalui seleksi yang berkesesuaian dengan perumusan tujuan intruksional khusus.[24] Karena tujuan pendidikan itu akan tercapai secara tepat manakala jalan yang ditempuh menuju cita-cita tersebut betul-betul tepat.
Ada beberapa metode pembelajaran dalam pendidikan Islam antara lain sebagai berikut:
a.       Metode cerita dan ceramah
Cerita tentang kejadian terutama peristiwa sejarah, merupakan metode yang banyak diketemukan dalam al-Qur’an. Tujuan yang lebih khusus tentang metode cerita dalam al-Qur’an adalah untuk memberi dorongan psikologis kepada Nabi Muhammad dalam perjuangannya melawan orang-orang kafir. Karena cerita dan kisah tentang Nabi-nabi di dalam al-Qur’an bertujuan untuk menggapai relevansinya dengan perbuatan dan situasi yang dihadapi Nabi Muhammad bersama kaum mukmin. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (هود :١٢٠)
 ( Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.)[25]
Relevansi metode cerita dilingkungan sekolah seolah-olah seperti benar-benar terjadi dengan sesungguhnya. Cerita-cerita yang dimaksudkan merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk menyampaikan informasi dan pelajaran. Maka pendidik harus merealisasikan peranannya untuk membentuk sikap-sikap yang merupakan tujuan dari pendidikan Islam.
Metode ceramah adalah teknik penyampaian pesan pengajaran yang sudah lazim dipakai oleh para guru disekolah.26[26]Dalam metode ceramah murid sebagai penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan dan mencatat keterangan-keterangan guru yang diperlukan. Metode ceramah layak dipakai guru dalam menyampaikan pesan di kelas apabila:
1)      Pesan yang disampaikan berupa fakta atau informasi (dimana tidak ada bahan bacaan yang menerangkan fakta-fakta tersebut).
2)      Jumlah siswanya terlalu banyak.
3)      Guru adalah seorang pembicara yang baik, berwibawa dan dapat merangsang siswa untuk berfikir.[27]

b.      Metode Diskusi
Metode diskusi dapat diartikan suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan obyektif. Cara ini menimbulkan perhatian dan perubahan tingkah laku anak dalam belajar. Metode diskusi juga dimaksudkan untuk dapat merangsang siswa dalam belajar dan berfikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya secara rasional dan obyektif dalam pemecahan suatu masalah.[28]
Metode diskusi merangsang anak didik berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persoalan yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh suatu jawaban atau satu cara saja, tetapi memerlukan wawasan atau ilmu pengetahuan yang mampu mencari jalan terbaik (alternatif terbaik). Dari jawaban atau jalan keluar yang ada bagaimana mendapatkan jalan yang paling tepat untuk mendekati kebenaran sesuai dengan ilmu yang ada pada kita. Jadi, metode diskusi tidak hanya percakapan, debat, melainkan cara untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan.[29]
Metode diskusi juga diperhatikan dalam al-Qur’an dalam mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap sesuatu masalah. Perintah Allah dalam hal ini agar kita mengajak ke jalan yang benar dengan hikmah dan mau’idzah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling baik, dan cara yang baik ini perlu dirumuskan lebih lanjut, sehingga timbullah etika berdiskusi, misalnya:
1)      Tidak memonopoli pembicaraan
2)      Saling menghargai pendapat orang lain
3)      Kedewasaan pikiran dan emosi
4)      Berpandangan luas dan sebagainya.[30]
Seperti firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل : 125 )
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl : 125).[31]
Metode diskusi ini tepat dipergunakan untuk:
1)      Menumbuhkan sikap transparan dan toleran bagi peserta didik, karena ia terbiasa mendengarkan pendapat orang lain sekalipun pendapat tersebut berbeda dengan pendapatnya.
2)      Mencari berbagai masukan dalam memutuskan sebuah / beberapa permasalahan secara bersama.
3)      Membiasakan peserta didik berfikir secara logis dan sistematis.32[32]
c.       Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah penyampaian dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode didalam pendidikan dimana guru bertanya dan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya. Pengertian lain dari metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama guru kepada murid atau dapat juga dari murid kepada guru.[33]
Dalam sejarah perkembangan Islam pun dikenal metode tanya jawab, karena metode ini sering dipakai Nabi dan Rasul Allah dalam mengajarkan ajaran yang dibawanya kepada umatnya. Metode ini termasuk metode paling tua disamping metode ceramah, namun efektifitasnya lebih besar daripada metode lain. Karena dengan metode tanya jawab pengertian dan pemahaman yang diperoleh lebih mantap. Sehingga segala bentuk kesalahpahaman dan kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari semaksimal mungkin. Dalam ajaran Islam, orang yang berilmu apabila ditanya tentang ilmu pengetahuan ia wajib menjawab sebatas kemampuannya, bila tidak, maka Allah mengancamnya dengan siksa yang amat pedih.
Metode tanya jawab berbeda dengan evaluasi. Metode tanya jawab merupakan salah satu teknik penyampaian materi, sedangkan evaluasi adalah alat ukur untuk mengukur hasil belajar siswa.[34]


d.      Metode Sorogan
Metode sorogan adalah metode individual dimana murid mendatangi guru untuk mengkaji suatu kitab dan guru membimbingnya secara langsung. Metode ini dalam Sejarah Pendidikan Islam dikenal dengan sistem pendidikan “kutai” sementara di dunia barat dikenal dengan metode tutorship dan mentorship. Pada prakteknya si santri diajari dan dibimbing bagaimana cara membacanya, menghafalnya atau lebih jauh lagi menerjemahkan / menafsirkannya. Semua itu dilakukan oleh guru, sementara santri menyimak penuh perhatian dan ngesahi (mensahkan) dengan memberi catatan pada kitabnya atau mensahkan bahwa itu telah diberikan kepadanya.35[35]

e.       Metode Demonstrasi
Metode Demonstrasi adalah Metode Pembelajaran yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik[36].


f.       Metode Bandongan
Metode bandongan adalah salah satu metode pembelajaran dalam pendidikan Islam. Dimana siswa/santri tidak menghadap guru/kyai satu demi satu, tetapi semua peserta didik menghadap guru dengan membawa buku/kitab masing-masing. Kemudian guru membacakan, menerjemahkan, menerangkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajari, sementara santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu. Cara belajar seperti ini paling banyak dilakukan dipesantren-pesantren tradisional.[37]

g.      Metode Mudzakarah
Metode mudzakarah adalah metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar (PBM) dengan jalan mengadakan suatu pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas masalah-masalah agama saja. Metode mudzakarah ini pada umumnya banyak digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang disebut pesantren, khususnya pesantren tradisional.
Diantara tujuan penggunaan metode ini adalah untuk melatih santri agar lebih terlatih dalam memecahkan masalah-masalah yang berkembang dengan menggunakan kitab-kitab klasik yang ada. Disamping untuk menguji ketrampilan, mereka bisa mengutip sumber-sumber argumentasi dari kitab-kitab.38
3.   Sistem Evaluasi Pendidikan Islam
  Evaluasi berasal dari bahasa Inggris “evaluation” yang berarti penilaian terhadap sesuatu. Adapun evaluasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah evaluasi di sekolah, yaitu penilaian terhadap kemampuan murid dalam menguasai bahan pelajaran yang telah diberikan. Untuk menyatakan tingkat penguasaan itu diberikanlah suatu nilai, yang biasanya dalam bentuk angka.[39]
Menurut W.S.Winkel Eveluasi adalah penentuan sampai berapa jauh sesuatu itu berharga, bermutu, atau bernilai. Evaluasi terhadap hasil belajar yang dicapai oleh siswa dan terhadap proses mengajar-belajar mengandung penilaian terhadap hasil belajar atau proses belajar itu, sampai seberapa jauh keduannya dapat dinilai dengan baik[40]. Sedangkan menurut Anas Sudiyono, evaluasi adalah kegiatan/proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai, sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip mana evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi/bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif) dan pengamalannya (aspek psikomotor).[41]
  Adapun alat-alat yang dipergunakan dalam rangka melakukan evaluasi hasil belajar di sekolah, dikenal adanya dua macam teknik, yaitu teknik tes dan teknik non tes. Dengan teknik tes maka evaluasi hasil pembelajaran di sekolah itu dilakukan dengan jalan menguji peserta didik. Sebaliknya, dengan teknik non tes maka evaluasi dilakukan tanpa menguji peserta didik.[42]
  Teknik tes dapat dibedakan menjadi 6 golongan, yaitu:
1)      Tes seleksi, tes seleksi sering dikenal dengan istilah “ujian saringan” atau “ujian masuk”.
2)      Tes awal, tes awal dikenal dengan istilah “pretest”, tes ini dilakukan dengan tujuan sejauh manakah materi/bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh para peserta didik.
3)      Tes akhir, tes ini dikenal dengan istilah “post test”, tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua materi pelajaran yang tergolong penting sudah dapat dikuasai dengan sebaik-baiknya oleh para peserta didik.
4)      Tes diagnostik, adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat jenis kesukaran yang dihadapi oleh para peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu.
5)      Tes formatif, adalah tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sejauh manakah peserta didik “telah terbentuk” (sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah ditentukan) setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Biasanya dikenal dengan “ulangan harian”.
6)      Tes sumatif, adalah tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan satuan program pengajaran selesai diberikan.39[43]
Sedangkan teknik non tes, penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa “menguji” peserta didik, melainkan dilakukan dengan cara pengamatan secara sistematis (observation), melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (quesvationnaire) dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen (documentary analysis). Teknik non tes ini pada umumnya memegang peranan yang penting dalam rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap hidup (Affective Domain), dan ranah ketrampilan (Psychomotoric Domain), sedangkan teknik tes sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini, lebih banyak digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah proses berfikirnya (Cognitive Domain).[44]

C.  Unsur-unsur Pendidikan
1.   Pendidik
Pendidik adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Sedangkan secara akademis, pendidik adalah tenaga kependidikan, yakni anggoa masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai pendidik, dosen, koselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan dan sebutan lain yag sesuai dengan kekhususannya,serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan[45]. Pendidik menurut Ahmad Tafsir adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dan selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam Islam orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat, yaitu orang tua ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya, kedua karena kepentingan kedua orang tua terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.45[46]
Pendidik mempunyai dua arti, arti yang luas dan arti yang sempit. Pendidik dalam arti luas adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak. Secara alamiah semua anak sebelum mereka dewasa menerima pembinaan dari orang-orang dewasa agar mereka dapat berkembang dan tumbuh secara wajar. Sebab secara alamiah pula anak manusia membutuhkan pembimbingan seperti itu, karena ia dibekali insting sedikit sekali untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini orang-orang yang berkewajiban membina anak secara ilmiah adalah orang tua mereka masing-masing, warga masyarakat dan tokoh-tokohnya.
Pendidik dalam arti sempit adalah orang-orang yang disiapkan dengan sengaja untuk menjadi guru dan dosen. Kedua jenis pendidik ini diberi pelajaran tentang pendidikan dalam waktu relatif lama agar mereka menguasai ilmu itu dan trampil melaksanakannya di lapangan. Pendidik ini tidak cukup belajar di perguruan tinggi saja sebelum diangkat menjadi guru/dosen, melainkan juga belajar dan di ajar selama mereka bekerja, agar profesionalisme mereka semakin meningkat.
Tugas guru menurut S. Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1)      Sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan yang mendalam tentang bahan yang akan diajarkannya. Sebagai tindak lanjutnya dari tugas ini, maka guru tidak boleh berhenti belajar, karena pengetahuan yang akan diberikan kepada anak didiknya terlebih dahulu harus ia pelajari.
2)      Guru sebagai model, yaitu dalam bidang studi yang diajarkannya merupakan sesuatu yang berguna dan dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga guru tersebut menjadi model atau contoh nyata dari yang dikehendaki oleh mata pelajaran tersebut.
3)      Guru menjadi model sebagai pribadi, apakah ia berdisiplin, cermat berfikir, mencintai pelajarannya atau yang mematikan idealisme dan picik dalam pandangannya.47[47]

      2. Peserta Didik
Peserta didik/murid pada dasarnya adalah unsur penentu dalam proses belajar. Di lihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrohnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kea rah titik optimal kemampuan fitrohnya.[48]
Dalam proses pendidikan kedudukan sebagai si terdidik bukanlah sesuatu yang tidak penting. Seseorang yang masih belum dewasa misalnya, mengandung banyak sekali kemungkinan- kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah si anak mempunyai bakat-bakat yang masih harus dikembangkan, mempunyai kehendak, perasaan dan pikiran yang belum matang.
Si terdidik memegang peranan yang sangat penting. Ia memiliki apa-apa yang akan dikembangkan, ia yang akan mengolah apa yang diajarkan kepadanya. Peranan ini makin lama makin besar dan pada masa dewasa seluruh pertanggung jawaban (titik berat peranan) terletak dibahu si terdidik sendiri. Kalau perkembangan kepribadian si anak berjalan normal maka makin dekat ke “kedewasaan”.

3.   Media Pendidikan Islam
Pengertian media secara lebih luas dapat diartikan manusia, benda, peristiwa yang membuat kondisi siswa memungkinkan memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau sikap.49[49]           
                  Media dapat digolongkan kepada 6 kategori, yaitu:
1)      Realthing, dapat berupa manusia (guru) itu sendiri, benda sesungguhnya dan peristiwa yang terjadi.
2)      Verval representation, berupa media tulis/cetak, buku teks dan sebagainya.
3)      Graphic representation, berupa chart, diagram, gambar/lukisan.
4)      Still picture, seperti: foto, slide, film strip dan media visual lainnya.
5)      Audio (recording), seperti: pita kaset, real tape, piringan hitam, sound track, dan sebagainya.
6)      Simulation, berupa permainan yang menirukan kejadian yang sebenarnya, sebagai contoh adalah simulasi perang-perangan, mengemudikan pesawat dan sebagainya.
Permasalahan yang dihadapi guru adalah bagaimana memilih media yang tepat dan sesuai dengan tujuan pengajaran yang ditetapkan. Jawabannya tergantung kepada:
1)      Kesesuaian media tersebut dengan tujuan pengajaran yang dirumuskan.
2)      Kesesuaian dengan tingkat kemampuan siswa.
3)      Tersedianya sumber belajar sebagai sarana pendukung keberhasilan belajar mengajar.
4)      Tersedianya dana/biaya yang memadai.
5)      Kesesuaiannya dengan tehnik yang dipahami dan sebagainya.
4.   Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Menurut pasal 13 ayat (1) bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.[50]
Lembaga pendidikan formal adalah semua bentuk pendidikan yang diadakan ditempat tertentu, teratur dan sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu.
Lembaga pendidikan non formal adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana, diluar kegiatan persekolahan.
Lembaga pendidikan informal adalah semua bentuk pendidikan yang dilaksanakan tanpa suatu organisasi yang ketat tanpa adanya evaluasi. Pendidikan informal tetap memberikan pengaruh yang kuat terhadap pembentukan pribadi seseorang/peserta didik.

FILE  DOWNLOAD DISINI


1 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII, (Bandung: Ma’arif, 1989), hlm.19.
[2] Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah), (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.38.

[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.29.
[4] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.28
[5] Sama’un Bakry, M.Ag. Menggagas Konsep Ilmu Penddikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Qurasy, 2005), hlm. 1
[6]  Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.90.
[7]  Zakiah Daradjat, op.cit., hlm.16.
[8]  Ibid., hlm.19.
8 Mohammad Daud Ali, op.cit., hlm.111.
[10] Muhaimin dan Abdul Najib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm.41.
[11] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.18.
[12] UURI No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm.7.
[13] Muhaimin, op.cit., hlm.30.
[14] A. Syafi’i Ma’arif, et. al., op.cit., hlm.55.
[15] Ibid.
[16] Abdurrahman Mas’ud, MA., et.al., Paradigma Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2004), hlm.40.
[17] Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI 2006, Penyempurnaan Standar Kompetensi Madrasah Ibtidaiyah.
[18] Departemen Agama RI, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), hlm. 88
[19] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zaim, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hlm.53.
20 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.92.
21 Ibid, hlm.93.
22 Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.105.
23 Ibid, hlm.507.
24 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zaim, op.cit., hlm.8
[25]  Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.236.
26 Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm.34.
[27] Ibid.
[28]  Ibid., hlm.36.

[29]  Armei Arif, op.cit., hlm.146.
[30] Abuddin Nata, op.cit., hlm.107.

[31] Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.282.
32 Abuddin Nata, op.cit., hlm.107.
[33]  Armei Arif, op.cit., hlm.141.
[34] Ibid.

35 Ibid., hlm.153.
[36] Ismail SM., Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 20
[37] Armei Arif, op.cit., hlm.156.
38 Ibid., hlm.160.
[39] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001) hlm.41.
[40] W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1996), hlm. 475
[41] Anas Sudiyono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Remaja Grafindo Persada, 1998), hlm.48.
[42] Ibid., hlm.63.
[43] Ibid., hlm.68.
[44] Ibid., hlm.76.
[45] Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz: 2006), hlm. 38
46 Abuddin Nata, op.cit., hlm.61-62.
47 Ibid., hlm.63.
[48] Ibid., hlm.79.
49 Basyiruddin Usman, op.cit., hlm.127.
[50]  UURI No. 20 Tahun 2003, hlm.11.