BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Aqiqah merupakan salah satu ajaran islam yang di contohkan rasulullah
SAW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa kita petik di
dalamnya. Di laksanakan pada hari ke tujuh dalam kelahiran seorang bayi.
Dan Aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati wajib), bahkan sebagian ulama
menyatakan wajib. Setiap orang tua mendambahkan anak yang shaleh, berbakti dan
mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah satu
acara penting untuk menanamkan nilai-nilai ruhaniah kepada anak yang masih
suci. Dengan aqiqah di harapkan sang bayi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir
dan batin. Di tumbuhkan dan di kembangkan lahir dan batinnya dengan nilai-nilai
ilahiyah.
Aqiqah juga salah satu upaya kita untuk menebus anak
kita yang tergadai. Aqiqah juga merupakan realisasi rasa syukur kita atas
anugerah, sekaligus amanah yang di berikan allah SWT terhadap kita. Aqiqah juga
sebagai upaya kita menghidupkan sunnah rasul SAW, yang merupakan perbuatan yang
terpuji, mengingat saat ini sunnah tersebut mulai jarang di laksanakan
oleh kaum muslimin.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang
masalah diatas, makalah ini dapat kita rumuskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian Aqiqah itu ?
2.
Bagaimana dasar hukum Aqiqah ?
3.
Bagaimana ketentuan beraqiqah itu ?
4.
Kapan pelaksanaan waktu ibadah aqiqah ?
5.
Bagaimana Proses pelaksanaan Aqiqah itu ?
C.
Tujuan
Penulisan
Dari paparan rumusan makalah diatas, maka
penulisan makalah ini tujuannya adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian Aqiqah itu.
2.
Untuk menjelaskan dasar hukum
Aqiqah.
3.
Untuk menguraikan ketentuan beraqiqah.
4.
Untuk mengetahui pelaksanaan
waktu ibadah aqiqah.
5.
Untuk menjelaskan Proses
pelaksanaan Aqiqah.
D.
Manfaat
Penulisan
a.
Bagi
guru
Dengan makalah ini dapat dijadikan guru sebagai acuan dan pedoman dalam mempelajari hukum-hukum
fiqih dan menamabah cakrawala wawasan
pengetahuan tentang ilmu dasar-dasar fiqhiyah.
b.
Mahasiswa
Dengan materi ini dapat dijadikan tambahan cakrawala wawasan
disiplin kelimuan tentang hukum-hukum fiqih sehingga ketika kita terjun di masayarakat dapat
dijadikan modal untuk bersosialisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aqiqah
Kata Aqiqah berasal dari bahasa
Arab عَقِيْقَةً yaitu mashdar
(kata benda)
dari fiil madhi عقَّ dengan fiil mudhore’يَعُـقُّ yang berarti “mengaqiqahkan anak atau
menyembelih kambing aqiqah”[1].
Menurut bahasa aqiqah artinya memotong atau
memisahkan, misalnya kata “Uquq Al-Walidaini” artinya durhaka kepada kedua
orang tua, karena ia memutuskan hubungan baik kepada keduanya[2]. Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis
ialah rambut kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya[3].
Adapun untuk mengetahui makna aqiqah secara
istilah syara’, penulis petikkan beberapa pendapat ulama berikut:
1. Menurut Sayyid Sabiq, Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk anak
yang baru lahir[4].
2. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Aqiqah adalah
nama sesuatu yang disembelihkan pada hari ketujuh, yakni hari mencukur rambut
kepalanya yang disebut Aqiqah dengan menyebut sesuatu yang ada hubunganya
dengan nama tersebut[5].
3. Menurut jumhur ulama mengartikan bahwa aqiqah yaitu menyembelih hewan pada
hari ketujuh dari hari lahirnya seorang anak baik laki-laki maupun perempuan.
4. Menurut Drs. R. Abdul Aziz dalam bukunya Rumah Tangga Bahagia Sejahtera,
mengatakan bahwa aqiqah adalah menyembelih kambing untuk menyelamati bayi yang
baru lahir dan sekaligus memberikannya sebagai sedekah kepada fakir miskin.
5. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, aqiqah berarti menyembelih kambing untuk
anak pada hari ketujuh kelahirannya[6].
Selain definisi-definisi tersebut Rasulullah
SAW juga menjelaskan pengertian aqiqah dalam sabdanya:
عَنْ سَمُرَةَ قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ الله عليْهِ وَسَلَّمَ: الغُلامُ
مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعُ, وَيُسَمَّى
رَأْسُهُ. (رواه الترمذي)
Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah SAW
telah bersabda: “Setiap
bayi tergadai pada aqiqahnya, yang disembelih
pada hari ketujuh, dan
pada hari itu diberi nama dan dicukurlah
rambutnya”. (HR. Turmudhi).
Dari beberapa definisi di atas makna aqiqah
dapat disederhanakan sebagai berikut: Aqiqah adalah suatu rangkaian kegiatan
merayakan kelahiran anak dengan menyembelih binatang yang dilakukan pada hari
ketujuh, lalu dagingnya disedekahkan pada fakir miskin bersamaan dengan
mencukur rambut kepala anak serta memberikan nama anak.
Dengan demikian apabila dilihat dari
kegiatannya, aqiqah meliputi tiga kegiatan yaitu:
a. Mencukur rambut anak
b. Memberi nama anak
c. Menyembelih binatang (kambing, domba, sapi atau unta) yang kemudian
dinamakan binatang aqiqah.
Jadi pengertian ibadah aqiqah yaitu
melaksanakan perintah Allah SWT berupa menyembelih binatang pada hari ketujuh
kelahiran anak bersamaan dengan mencukur rambut kepalanya dan memberi nama
baginya.
B.
Dasar Hukum Aqiqah
Ulama berbeda pendapat tentang status hukum
aqiqah. Menurut Daud Adz-Dzahiri dan pengikutnya aqiqah hukumnya wajib,
sedangkan menurut jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam Abu Hanifah
menetapkan bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan tidak
sunnah[7].
Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam
bukunya Minhajul Muslim, mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkad
bagi orang yang mampu melaksanakannya, yaitu bagi orang tua anak yang
dilahirkan[8].
Perbedaan itu terjadi karena berbeda dalam
menginterpretasikan makna dan maksud hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan
dari Samurah yang tersebut di atas. Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata;
“anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya”, dalam hadist tersebut ialah bahwa
pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya
terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu bapaknya tidak
melaksanakan aqiqah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti Al-Khattabi dan
didukung oleh Ibn Qoyyim. Bahkan Ibn Qoyyim menegaskan, bahwa aqiqah itu berfungsi
untuk melepaskan anak yang bersangkutan dari godaan syetan.
Dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i selalu
dinyatakan bahwa hukum aqiqah adalah mustahab (sunnah). Maksudnya bagi orang
tua muslim, khususnya bagi yang mampu, bahwa mengaqiqahkan anak adalah perbuatan
yang sangat disukai oleh Allah SWT dan sangat baik, yang hal ini juga
membuktikan rasa cinta kasih mereka terhadap anak-anaknya. Dan dengan
mengaqiqahkan anak-anaknya ini, mereka akan mendapatkan pahala dari sisi Allah
SWT. Menurut Imam Malik aqiqah adalah suatu sunnah yang disyari’atkan. Syaikh
Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya “Fiqih Wanita” yang diterjemahkan M. Abdul
Ghoffar E.M. mengatakan bahwa hukum aqiqah merupakan ibadah sunnah muakkad bagi
mereka yang mampu. Hukum yang berlaku pada aqiqah ini adalah sama seperti hukum
yang berlaku pada binatang qurban, tetapi dalam aqiqah tidak diperbolehkan
adanya kebersamaan (satu kambing untuk beberapa anak).
Dasar hukum disyari’atkannya aqiqah adalah
adanya beberapa hadist yang menerangkan tentang aqiqah. Di antaranya adalah
hadist yang diriwayatkan dari sahabat Samurah yang telah diterangkan di muka.
Hadist tersebut merupakan hadits yang paling shahih yang menerangkan tentang
aqiqah karena diriwayatkan oleh lima ahli hadist, yaitu Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam At Turmudzi. Sehingga sangat
wajar jika hal ini akhirnya dijadikan dasar hukum bagi kesunnahan aqiqah.
Selain hadist yang diriwayatkan Samurah ada
pula dua hadist yang menggunakan kalimat perintah beraqiqah, kedua hadist
tersebut yaitu:
a. Hadist yang diriwayatkan dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda:
Dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi berkata: “Rasulullah SAW
bersabda: Bersamaan dengan anak terdapat hak untuk diaqiqahi maka tumpahkanlah
darah untuknya (dengan menyembelih binatang aqiqah) dan buanglah penyakit
darinya (dengan mencukur rambut kepalanya). (HR. Abu Dawud).
b.
Hadits Aisyah r.a. (istri rasulullah SAW) yang
menyatakan:
Kedua hadits di atas sama-sama mengandung perintah
untukberaqiqah. Secara sepintas, jika dipahami keduanya dapat menujukkan
hukumnya wajib beraqiqah, sebab menurut kaidah ushul fiqh perintah itu
menunjukkan adanya hukum yang wajib. Namun demikian, perlu disadari bahwa
perintah yang menunjukkan hukum wajib adalah perintah yang mutlak tanpa adanya
qarinah.24 Padahal jika dicermati lebih lanjut, perintah aqiqah dalam hadits di
atas mengandung qarinah berupa kemampuan si orang tua, yaitu kemampuan untuk
menyediakan dua ekor kambing jika anaknya lak-laki atau seekor jika anaknya
perempuan, jika orang tua mampu menyediakan, maka dia harus beraqiqah. Tapi
jika dia tidak mampu tidak ada alasan untuk mewajibkannya. Dengan demikian,
akan lebih tepat apabila kita katakan bahwa perintah aqiqah dalam hadist di
atas bukan menujukkan hukum wajib, tetapi menunjukkan hukum sunnah, atau
perintah anjuran bukan perintah mewajibkan.
Berdasarkan keterangan di atas, kiranya jelas
bahwa hukum mengaqiqahkan anak adalah sunnah dan dianjurkan. Ini menurut
kebanyakan imam dan ahli fiqh. Maksudnya meskipun Rasulullah SAW tidak
menggolongkannya ke dalam perintah yang diwajibkan, namun beliau senantisa
melaksanakannya. Tidak pernah mengabaikannya, ataupun hanya beliau lakukan
sesekali secara berkala.
C.
Jenis, Jumlah dan Syarat Binatang Aqiqah
Berdasarkan keterangan beberapa hadist yang
kita pelajari, sepintas telah dapat kita pahami bahwa jenis binatang aqiqah
adalah kambing dan jumlah masing-masing dua ekor untuk bayi laki-laki dan
seekor untuk bayi perempuan.
Namun demikian, agar pemahaman kita lebih
jelas, perlulah kiranya kita ketahui lebih jauh tentang jenis, jumlah dan
syarat binatang aqiqah dalam pembahasan berikut ini:
1.
Jenis Binatang Aqiqah
Perlu kita ketahui bahwa jenis binatang aqiqah ini tidak
luput dari perbedaan pendapat para ulama. Kita maklum adanya perbedaan ini
kadang-kadang membingungkan bagi kaum awam, tetapi jika kita sadari lebih jauh,
perbedaan itu justru memberikan jalan kemudahan tersendiri, terutama jika kita
sadar bahwa pemikiran dan keyakinan kita sendiri pada dasarnya memiliki
perbedaan yang sangat komplek. Pada dasarnya aqiqah memiliki banyak kesamaan
dengan qurban termasuk di dalamnya kesamaan dalam hal jenis binatangnya. Maka
sebagaimana halnya jenis binatang yang digunakan untuk keperluan qurban jenis
binatang yang digunakan untuk keperluan aqiqah biasanyamemilih di antara empat
jenis, yaitu:
a. Kambing
Jenis kambing inilah yang banyak disinggung
dalam beberapa hadist. Menurut sebagian pendapat di kalangan ulama mazhab
Syafi’i, beraqiqah menggunakan kambing akan lebih afdhal dibanding
denganbinatang yang lain[9].
b. Domba
Jenis ini pernah dipergunakan oleh baginda
Rasulullah SAW, ketika mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain.
c. Sapi
Dalam beberapa pengertian tidak ditegaskan
bahwa aqiqah harus menggunakan kambing. Namun jika dikiaskan dengan qurban,
maka aqiqah pun boleh menggunakan binatang lain semisal sapi.
d. Unta
Bagi orang tua yang tergolong berekonomi tinggi,
maka disunnahkan untuk menggunakan jenis binatang yang harganya lebih tinggi
semisal unta.
Demikian itu, jenis-jenis binatang yang dapat
dipergunakan untuk keperluan aqiqah. Dengan mengetahui jenis-jenisnya, orang
tua dapat memilih jenis binatang mana yang paling sesuai dengan kemampuan
ekonomi masing-masing.
2.
Jumlah Binatang
Tentang jumlah binatang yang ditetapkan untuk pelaksanaan
aqiqah ini ada beberapa pendapat:
a. Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak perempuan
disembelih satu ekor kambing[10].
Pendapat ini didasarkan pada Hadist Nabi SAW:
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan
orang-orang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan
untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi).
Jumhur ulama berpendapat bahwa anak perempuan
diaqiqahi setengah dari anak laki-laki. Maksudnya apabila anak perempuan satu
maka untuk anak laki-laki dua.
b. Ada yang boleh mengaqiqahi anak laki-laki dengan satu kambing. Ini
berdasarkan hadits Nabi SAW:
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW mengaqiqahkan
cucunya Hasan dan Husain bin Ali masing-masing seekor domba (kambing kibas).
(HR. Abu Dawud).
Demikian halnya dengan pendapat imam mazdhab
yang empat. Di antara mereka juga ada ketidaksamaan jumlah binatang aqiqah.
Tiga orang imam yaitu Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambali menyatakan
bahwa “aqiqah ialah menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan
seekor kambing untuk anak perempuan, dilakukan pada hari yang ketujuh dari
kelahirannya”. Sementara imam Malik bin Annas menyatakan baik untuk lelaki
maupun perempuan disembelih seekor saja.
3.
Syarat Binatang Aqiqah
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa semua binatang
yang disembelih untuk aqiqah sama dengan binatang untuk qurban. Bila untuk
qurban binatang itu sah untuk disembelih, hal itu berlaku juga untuk binatang
yang disembelih untuk aqiqah.
Menurut Malik, aqiqah sama dengan qurban, kita tidak
boleh menyembelih untuk aqiqah, binatang yang cacat, kurus, berpenyakit dan
yang kakinya patah. Binatang betina sama halnya dengan binatang qurban, boleh
juga disembelih.
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa usia binatang yang
disembelih untuk aqiqah sama dengan usia binatang untuk qurban. Dapat dikatakan
bahwa persyaratan binatang untuk aqiqah sama dengan syarat binatang untuk
qurban yaitu binatang yang baik, gemuk dan tidak cacat.
Prof. Dr. Ramayulis dkk, mengatakan bahwa binatang yang
akan diaqiqahkan mempunyai beberapa syarat, yaitu[11]:
a. Hendaknya sembelihan itu tidak cacat. Berdasarkan alasan ini, tidak sah
mengorbankan binatang yang buta total, pincang, terpotong telinganya dan
sebagainya.
b. Hendaknya binatang itu berumur satu tahun atau lebih atau memasuki dua
tahun, jika binatang itu biri-biri atau kambing.
c. Tidak boleh kooperatif, misalnya tujuh orang bergabung untuk melaksanakan
aqiqah. Sebab, jika cara kooperatif itu sah maka tujuan untuk mengaqiqahkan
anak itu tidak tercapai.
d. Daging-daging yang diaqiqahkan itu hendaklah dibagi-bagikan kepada orang
lain, dan diutamakan dibagi-bagikan kepada fakir miskin.
e. Dianjurkan agar aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan
f. Apa yang sah di dalam qurban adalah sah di dalam aqiqah, ditinjau dari segi
maknanya, bersedekahnya dan menghadiahkannya.
D. Waktu Aqiqah
Jumhur ulama berpendapat bahwa aqiqah itu
hanya berlaku bagi anak-anak kecil saja berdasarkan hadist yang menyatakan
bahwa tiap-tiap anak tergadai pada aqiqahnya yaitu dengan menyembelih binatang
aqiqah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.
Tetapi ada pendapat yang menunjukkan bahwa
keterikatan dengan hari ketujuh itu bukan merupakan suatu keharusan, melainkan
hanya merupakan suatu anjuran. Jika diaqiqahi pada hari keempat, kedelapan,
kesepuluh atau setelah itu, maka aqiqah itupun telah cukup.
Ada yang mengatakan bahwa menyembelih pada
hari ketujuh, hanya merupakan keutamaan, Asy-Syafi’i berpendapat, aqiqah boleh
disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh asal anak tersebut belum baligh.
Terdapat perselisihan pendapat para ulama
menyangkut hari menyembelih aqiqah. Namun kita harus berpegang kepada hadist
yang shahih mengenai masalah ini, ialah kenyataan bahwa Rasulullah SAW
menyembelih aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ketujuh kelahirannya.
Imam Malik berpendapat, hari kelahirannya
tidak dihitung kecuali jika ia lahir malam hari, sebelum terbit fajar.
Kelihatannya batasan hari tersebut merupakan anjuran saja. Jika ia disembelih
pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau sesudah itu, maka itu boleh saja.
Demikian pula, yang dilihat adalah hari penyembelihannya, bukan hari dimasak
dan dimakannya.
Dari beberapa pendapaat di atas, maka dapatlah
kita pinjam istilah waktu ada’ dan waktu qadha’ dalam sebuah kewajiban. Waktu
ada’ adalah waktu yang tepat atau kewajiban yang dilaksanakan tepat pada
waktunya. Sedangkan waktu qadha’ adalah kewajiban yang dilaksanakan pada waktu
yang lain.
Waktu ada’
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Samurah seperti yang diterangkan di muka, jelaslah waktu ada’ atau waktu yang
tepat untuk mengaqiqahkan anak adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak
atau pada saat anak berusia tujuh hari. Yaitu bersamaan dengan acara mencukur
rambut kepalanya serta menamainya. Apabila aqiqah bisa dilaksanakan tepat pada
hari ketujuh dari kelahiran anak tentu akan lebih baik dan lebih afdhal dan
sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Waktu qadha’
Istilah qadha’ dalam hal ini menjiplak istilah
al-Mawardi, salah seorang ulama dari kalangan mazhab Syafi’i dalam kitabnya
Al-Uddah dan Al-Hawi,ia menyatakan: “sesungguhnya aqiqah (yang dilaksanakan)
setelah hari ketujuh (dari kelahiran anak) adalah pelaksanaan qadha’. Pernyataan
ini menujukkan bahwa aqiqah boleh dilaksanakan pasca pencukuran dan penamaan
anak. Di sisi lain hal itu mengisyaratkan pula bahwa sunnahnya aqiqah tidak
akan gugur karena berlalunya hari ketujuh dari waktu kelahiran anak.
E. Proses Aqiqah
Sebagaimana halnya walimatul ursy dan walimah
khitan pada umumnya pesta aqiqah juga dilakukan dengan mengundang sanak
keluarga, para famili, dan tetangga tanpa pandang bulu. Miskin, kaya, laki-laki
dan perempuan boleh diundang. Tentu saja segala sesuatunya harus ditata
sedemikian rupa sehingga tidak mengotori makna aqiqah yang merupakan sunnah
Rasul. Semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang islami, baik pengaturan tempat
duduk, cara berpakaian maupun tata cara makan.
Proses aqiqah pada dasarnya meliputi tiga
kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu kegiatan menyembelih binatang
aqiqah, mencukur rambut kepala anak dan menamainya. Namun mengingat sulitnya
melaksanakan ketiga kegiatan secara bersamaan dalam satu waktu sekaligus. Maka pengertian
“bersamaan” itu dapat kita artikan dengan serangkaian, yaitu serangkaian kegiatan
yang meliputi penyembelihan binatang aqiqah, pencukuran rambut kepala anak dan
pemberian nama anak.
Hal tersebut sesuai dengan hadist Nabi yang
diriwayatkan dari Samurah yang telah disinggung di bagian atas. Di mana
berdasarkan hadist tersebut, maka serangkaian kegiatan aqiqah didahului dengan
menyembelih binatang aqiqah, kemudian diiringi dengan mencukur rambut kepala
anak dan terakhir menamainya.
Berikut pembahasannya
satu persatu;
1.
Menyembelih Binatang Aqiqah
Menyembelih binatang untuk aqiqah harus
dilakukan sesuai dengan cara yang telah disyari’atkan. Secara lebih terurai,
cara menyembelih binatang aqiqah adalah sebagai berikut:
a.
Mengasah pisau hingga
benar-benar tajam.
b.
Mengikat binatang dengan
tali agar ketika disembelih tidak bebas bergerak sehingga tidak menyulitkan
penyembelihan.
c.
Membaringkan binatang
dengan lambung kiri menempel ke tanah sehingga tangan kiri orang yang
menyembelih berada di sebelah kepala binatang dan kepala binatang ada di
selatan
d.
Membaca do’a:
e.
Pisau ditekan dengan
kuat ke leher binatang, sehingga saluran pernapasan dan saluran makanan
benar-benar putus.
f.
Penyembelihan bisa
dilakukan sendiri atau boleh juga diwakilkan kepada orang lain.
g.
Penyembelih dalam
keadaan berakal sehat.
2.
Mencukur Rambut Kepala Anak
Mengiringi usainya
penyembelihan binatang aqiqah, maka akan dilakukan rentetan kegiatan kedua,
yaitu mencukur rambut kepala anak. Mencukur rambut yang disyari’atkan oleh
agama saat pelaksanaan aqiqah adalah mencukur seluruh rambut kepala anak yang
dibawa sejak dalam kandungan ibunya.
Mencukur rambut kepala
anak sebaiknya dilakukan di hadapan sanak keluarga agar mereka mengetahui dan
menjadi saksi. Boleh dilakukan oleh orang tuanya sendiri atau jika tidak mampu,
bisa diwakilkan kepada ahlinya.
3.
Menamai anak
Rangkaian yang ketiga
dari serentetan kegiatan aqiqah ialah menamai sang anak. Kegiatan menamai
inilah yang biasanya digelar dalam bentuk upacara, dengan mengundang sanak
kerabat serta para tetangga dekat. Shakespeare mengatakan: “Apa arti sebuah
nama”, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa nama bisa menunjukkan identitas
keluarga, bangsa bahkan akidah. Nama merupakan sarana yang mudah dan umum digunakan
untuk mengenali sesorang dan memperlancar hubungan sosial. Dengan demikian
ungkapan di atas, lebih merupakan peringatan agar orang tidak terjebak ke dalam
penampilan lahiriah dan melupakan makna keberadaan manusia yang hakiki. Sebab,
baik buruknya seseorang memang tidak terletak pada namanya, melainkan pada
akhlak dan amal shalehnya.
Di dalam ajaran Islam,
nama seseorang di samping sebagai panggilan atau pengenalan terhadap seseorang,
juga berfungsi sebagai do’a. Berbagai kebiasaan yang berlaku di masyarakat
adalah bahwa ketika anak dilahirkan, maka orang tua memilihkan sebuah nama
untuk anaknya. Nama yang baik mengandung ciri dan unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Bermakna dan berarti
pujian,.
b.
Bermakna do’a dan
harapan, misalnya Muhsin, artinya orang yang baik.
c.
Bermakna semangat,
misalnya Syaifullah, artinya pedang Allah Oleh karena itu, pada tempatnyalah
anak diberi nama yang baik sesuai dengan ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Menurut bahasa aqiqah artinya memotong atau
memisahkan. Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara
etimologis ialah rambut kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya. Sedangkan menurut istilah Aqiqah adalah suatu rangkaian kegiatan merayakan
kelahiran anak dengan menyembelih binatang yang dilakukan pada hari ketujuh,
lalu dagingnya disedekahkan pada fakir miskin bersamaan dengan mencukur rambut
kepala anak serta memberikan nama anak.
2.
Status hukum aqiqah ada beberapa pendapat. Menurut Daud Adz-Dzahiri dan pengikutnya aqiqah
hukumnya wajib, sedangkan menurut jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam
Abu Hanifah menetapkan bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan
tidak sunnah.
3.
Jenis
binatang Aqiqah adalah kambing, domba, sapi dan unta. Sedangkan jumlah binatang
Aqiqah adalah Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak perempuan
disembelih satu ekor kambing. Syarat
binatang Aqiqah adalah binatang yang baik, gemuk dan tidak cacat.
4.
Waktu
Aqiqah yang utama adalah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya (menurut jumhur ulama’).
5.
Proses aqiqah pada dasarnya meliputi tiga
kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu kegiatan menyembelih binatang
aqiqah, mencukur rambut kepala anak dan menamainya.
B.
Saran
Dalam memahami sebuah hukum kita harus bijak dan
mempunyai pedoman yang jelas, sehingga tidak menimbulkan keraguan dalam
melaksanakan suatu ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, M. Nipan, Mendidik Keshalehan
Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya), (Jakarta: Pustaka
Amani, 2001)
Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Imam
Taqiyyuddin, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shaleh), Bagian Kedua,
Penerjemah KH. Syaifuddin Anwar dan KH. Misbah Mustafa,(Surabaya: Bina Iman,
tt.)
Jabir El-Jazairi, Abu Bakar, Pola Hidup
Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak (Minhajul Muslim),Alih Bahasa Rachmat Djatnika
dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), Cet. I
Mardjoned, Ramlan, Aqiqah, (Jakarta:
Media Dakwah, 2002)
Qardhawi, Yusuf, Konsep Ibadah dalam Islam,
(tt.p. Central Media, tt)
Ramayulis, dkk., Pendidikan Islam dalam
Rumah Tangga,(Jakarta: Kalam Mulia,2001)Rifa’i, dkk., Muhammad, Terjemah
Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Jilid
VI, Alih Bahasa A. Hanafi M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1969)
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 13,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1995)
Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak
menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1996), Cet. 3
[3] M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan
dan Maknanya), (Jakarta: Pustaka
Amani, 2001) hlm. 4.
[5] Imam Taqiyyuddin Abu
Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar
(Kelengkapan Orang Shaleh), Bagian Kedua, Penerjemah
KH. Syaifuddin Anwar dan KH. Misbah Mustafa,(Surabaya: Bina Iman, tt.), hlm. 505
[6] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan
Jiwa Anak, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 71.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid VI, Alih Bahasa A. Hanafi M.A., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1969), hlm. 118.
[8] Abu Bakar Jabir
El-Jazairi, Pola Hidup Muslim:
Thaharah, Ibadah dan Akhlak (Minhajul Muslim),Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1991), Cet. I, hlm. 79.
[9]
Muhammad Rifa’i, dkk., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), hlm. 431.